Kamis, 21 Juli 2011

Maqam Tobat dalam Perspektif Alquran

Maqam Tobat dalam Perspektif Alquran
( Analisis Penafsiran Sufistik )
Abstrak
Tulisan ini mengupas ayat-ayat secara tematis terkait dengan makna tobat. Analisis sufistik yang digunakan berdasarkan kepada kitab tafsir karya Ibnu Arabi, at-Tustari dan Sa‘id Hawwa.
Tobat yang dikehendaki dalam Islam harus dilakukan secara berkelanjutan. Tobat yang dilakukan memberikan berpengaruh nyata dalam membentuk pribadi yang tawadhu’. Di samping itu tobat akan selalu menjaga prilaku dan ucapan dari hal-hal yang dapat mencemari kesucian jiwa.
  
Kata Kunci: penafsiran sufistik, makna ishari

Ibadah yang dilakukan dalam agama kita pada prinsipnya tidak sekedar memenuhi ketentuan fiqh. Tetapi melampauinya, artinya ibadah itu memiliki tujuan hakiki untuk menyucikan jiwa. Oleh karena itu, dalam menjalankan ibadah harus kita pahami hikmah dan rahasianya supaya memberikan pengaruh nyata dalam kehidupan.
Bila jiwa seorang hamba bernoda dengan melakukan dosa dan kesalahan maka Islam memberikan jalan untuk membersihkannya yaitu dengan bertobat. Adapun tobat yang dikehendaki dalam Islam adalah tobat yang sesungguhnya seperti yang dipahami oleh para sufi.  Dalam pandangan para sufi, tobat merupakan dasar pertama dalam melakukan perjalanan menuju Allah (as-sir fillah السير إلى الله).[1] Terlepas dari keberadaan tobat sebagai bagian dari urutan maqam dalam bertasawuf, namun tobat merupakan salah satu prinsip ajaran Islam yang harus dilakukan sebagai muslim.  
Tulisan ini akan menguraikan tentang ayat-ayat tobat dalam tinjauan tafsir sufistik. Persoalan yang akan dijawab adalah bagaimana hakikat tobat berdasarkan penafsiran sufistik? Seperti apa pengaruh tobat dalam kehidupan nyata?

A. Pengertian Tobat
Tobat menurut istilah para sufi adalah kembali kepada ketaatan dari perbuatan maksiat, kembali dari nafsu kepada haq (jalan kebenaran).[2] Dalam kitab ta’rifa>t dijelaskan bahwa tobat adalah kembali kepada Allah dengan melepaskan ikatan yang membungkus hati (mengekang) kemudian bangkit menuju ( memenuhi ) hak Rab (Tuhan semesta alam).[3] Sementara itu zunnun al-Misri membaginya bahwa tobat orang awam dari dosa, tobat orang khusus dari kelalaian dan tobat para nabi ketika melihat kelemahannya dalam ibadah dibandingkan dengan keberhasilan yang dicapai.[4] Sahl at-Tustari pernah ditanya; apakah tobat itu ? jawabnya; Tobat itu maksudnya ialah jangan lupa terhadap dosamu.[5] Jawaban Sahl ini mengisyaratkan bahwa dalam bertobat kita harus menyadari sungguh–sungguh akan dosa yang dilakukan baik terkait dengan Allah atau kaitannya dengan manusia lain dan selalu mengharap ampunan Allah bahkan terhadap dosa apapun yang harus dihindari.
Sejalan dengan pemahaman tobat diatas, ditemukan dalam Alquran berbagai bentuk penjelasan tentang tobat. Penulis akan uraikan penafsiran sufistik tentang ayat–ayat yang terkait dengannya.

B. Analisis Sufistik terhadap Penafsiran Ayat-Ayat Tobat
1. Makna tobat dalam bentuk perintah
Sehubungan dengan perintah bertobat, ditemukan ayat yang ditujukan Allah kepada orang beriman dengan menekankan tentang tobat murni yang terdapat dalam ayat 8 surat at- Tah}ri>m ( 66 ).
ياأيها الذين امنوا توبوا إلى الله توبة نصوحا عسى ربكم أن يكفرعنكم سيئاتكم ويدخلكم جنات تجري من تحتها الأنهار[6].  

Mengenai makna tobat nas}u>ha dikemukakan dalam tafsir Sa‘id Hawwa;
أي: توبة صادقة أو خالصة. وقال ابن كثير: توبة صادقة جازمة تمحو ما قبلها من السيئات, وتلم شعث التائب وتجمعه و تكفر عما كان يتعاطاه من الدناءات.[7]
Artinya: tobat yang benar atau yang murni. Ibnu Kathir mengatakan dengan tobat yang benar dan memutuskan maksudnya menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya. Menghimpun yang terserak atau mengumpulkannya dan menghapuskan segala perbuatan yang hina.

Istilah tobat nas}u>h}a> dalam ayat diatas dimaknai oleh Sa‘id H{awwa yaitu tobat s}a>diqah (jujur, benar) dan kha>lis}ah (murni, bersih, tulus). Selanjutnya dijelaskannya dengan mengutip Ibnu Kathi>r bahwa taubat nas}u>h}a> adalah tobat yang menghapus kesalahan yang lewat. Berbagai kekusutan ataupun kesalahan yang membuat diri terhina dan rendah lalu dihimpun dan menjadi terhapus dengan tobat.[8]Artinya tobat tersebut berfungsi menghilangkan dan menghapus kesalahan. Tobat juga dipahami dapat memutus rangkaian dosa ibarat memutus tali yang mengikat suatu benda. Apabila ujung tali dekat benda tersebut dipotong maka tidak ada lagi hubungan tali dengan benda tersebut. Begitulah tujuan yang dikehendaki dari tobat nas}u>ha.
Selanjutnya dijelaskan oleh Sa‘id H{awwa dengan mengutip tafsir an-Nasafi;
ويراد توبة تنصح الناس أي: تدعوهم إلى مثلها لظهور أثرها فى صاحبها واستعماله الجد والعزيمة فى العمل على مقتضياتها.[9]            
Dan yang dimaksud juga adalah tobat yang memberi pengaruh pada manusia lain. Artinya dengan bertobat, dapat mendorong orang lain agar mengikuti seperti demikian karena pengaruhnya tampak nyata dalam kehidupan orang yang bertobat itu sendiri. Merealisasikan tobat dalam prilaku yang ditunjukkan dalam aktifitasnya dengan kesungguhan dan keinginan kuat.

            Tobat seperti ini secara langsung memberi pelajaran kepada manusia karena pengaruhnya jelas bagi pelaku tobat dengan niatnya yang bulat dan ditunjukkan dengan amal saleh yang dapat disaksikan. Orang yang betul–betul bertobat tidak hanya memberi manfaat kepada dirinya sendiri tapi orang lain merasa terajak karena prilaku yang ditampakkannya setelah melakukan tobat. Pengertian dari penafsiran Sa‘id H{awwa ini menunjukkan bahwa prinsip dalam tasawufnya ingin membangun manusia yang berhati bersih dan dekat dengan Tuhan secara kolektif. Proses untuk membentuk masyarakat supaya berhati suci dan merasakan dekat dengan Tuhan menurut Sa‘id H{awwa tidak perlu mengambil jalan tarikat. Ia menginginkan tasawuf seperti yang dilakukan para salafi dengan berpedoman pada Alquran dan Sunnah.[10]
Tobat yang berimplikasi pada orang lain sehingga tercermin dalam prilaku sehingga secara tidak langsung terbangun tobat secara kolektif. Selain itu, terlihat juga bahwa Sa‘id H{awwa tidak menginginkan terkonsenterasi pada satu sistem seperti guru tarikat. Artinya tasawuf dapat dilakukan oleh individu-individu tapi bermakna kolektif. Bila masing-masing orang menjalankan aspek-aspek tasawuf tentu akan tercipta gerakan tasawuf massal. Keinginan Sa‘id H{awwa ini tercermin dalam tafsir sufistiknya yang menekankan aspek praktis dalam memahami ayat. Salah satu indikatornya adalah dengan berpegang pada makna zahir ayat ketika menjelaskan makna sufistiknya dan ia menghindari penjelasan yang abstrak.[11]   
Seterusnya penjelasan mengenai janji Allah sebagaimana tercantum dalam ayat bahwa Allah akan memasukkan orang yang bertobat kedalam surga, menurut Sa‘id H{awwa hal itu terjadi jika melakukan tobat nas}u>h}a>.[12] Sementara itu Tustari dalam tafsirnya mengemukakan bahwa tobat nas}u>h}a> tidak berbuat kembali kesalahan. Ibaratnya; Orang yang suka ( muh}ib / hamba ) tidak mau menghampiri pada sesuatu yang tidak disukai kekasihnya (Allah). Tanda orang bertobat menurut Tustari tidak menghiraukan bumi atau langit tapi jiwanya menempati posisi berada di ’arsh dan disisi Allah sampai ia meninggal dunia. Bila orang jarang bertobat, ketika saat didatangi malaikat maut maka ia akan berkata tinggalkan aku, berikan aku kesempatan hidup untuk dapat berbuat baik. Selanjutnya bagi orang yang bertobat mukhlis} ketika menghadapi maut, dikatakan baginya; Alangkah cepatnya engkau datang, jawabnya; kami datang sekira / sebagaimana engkau datang. [13]
Selanjutnya ditegaskan Sa‘id H{awwa terkait taubat nas}u>h}a> dengan mengutip perkataan Umar bin Khattab bahwa dalam bertobat artinya seseorang tobat dari dosa kemudian tidak mengulanginya atau tidak ada keinginan kembali lagi pada dosa untuk selamanya.[14] Menurut Sa‘id H{awwa tobat yang paling tinggi adalah yang dilakukan secara istimra>r (berkelanjutan) sampai berpisah dengan dunia. Ini sesuai dengan kandungan dari riwayat yang dikemukakan bahwa makna tobat tidak ingin kembali pada dosa artinya bertobat terus menerus sehingga hati tertutup untuk berbuat dosa. [15] Tidak saja terhadap dosa yang lewat, bahkan untuk berbuat dosa yang baru tidak ada celah lagi karena dalam pikiran selalu ingat dosa.[16]
Dalam tafsirnya, Sa‘id H{awwa mengemukakan pandangan ulama terkait  dengan proses bertobat. Pertama, harus meninggalkan atau mencabut sedalamnya akan perbuatan dosa. Kedua, menyesali perbuatan salah pada masa lalu dan bertekad untuk tidak melakukan pada masa datang. Ketiga, berkenaan dengan hak dan kesalahan dengan manusia harus diselesaikan haknya. Jadi tobat itu memutus kesalahan masa lalu sebagaimana Islam memutus ajaran sebelumnya (jahiliyah).[17] Penafsiran Sa‘id H{awwa dan Tustari dalam memaknai tobat nas}u>h}a> sebagai maqa>m yang tetap pada seseorang sampai ia meninggal dan ditegaskan bahwa ia tidak bakal kembali lagi. Hal beginilah yang menjadikan sesorang masuk surga sesuai janji Allah pada ayat tersebut sebagai balasan dari tobat nas}u>h}a>.
Penafsiran Sa‘id H{awwa tentang tobat pada ayat ini lebih kepada perubahan prilaku dan dapat ditunjukkan dengan amal saleh. Prilaku dan amal saleh bertujuan agar kesadaran orang yang bertobat dapat berpengaruh pada orang lain. Nas}u>h}a> dalam hal ini adalah tobat yang dilakukan sepanjang hayat. Sebab dengan tobat begitulah dapat merasakan hubungan yang dekat dengan Allah. Disamping merasa dekat juga menyucikan rohani, bila rohani senantiasa bersih dengan tobat maka dapat membuka tabir antara hamba dengan rahasia gaib yang dalam istilah tasawuf dikenal dengan kashaf. [18]
Makna tobat yang dijelaskan Sa‘id H{awwa sejalan dengan konteks ayat secara zahir. Ia kemukakan juga riwayat serta pandangan ulama untuk mendukung penafsirannya, seperti riwayat Umar bin Khat}t}ab, pandangan at-Tustari, Ibnu Kathir dan an-Nasafi. Tobat yang berkelanjutan demikianlah yang bisa menghapus kesalahan–kesalahan.    
Dijelaskan juga dalam tafsir Ibnu Arabi bahwa tobat nas}u>h}a> berfungsi memperbaiki jiwa yang rusak, membetulkan yang salah atau menutup yang cacat, sebab hal yang rusak, salah atau cacat tersebut tidak dapat baik kembali kecuali dengan tobat. Tobat inilah yang disebut dengan tobat kha>lis}ah yaitu murni dari ketercampuran atau tercemar dari kecenderungan kepada hal–hal yang mengandung dosa kepada posisi ia bertobat (توبة خالصة عن شوب الميل إلى المقام الذى تاب عنه ).[19] Penafsiran Ibnu Arabi terkait dengan tobat nas}u>h}a> menegaskan bahwa dengan tobat nas}u>h}a> seseorang terlepas dari dosa, naik  (taraqqi) dari maqa>m yang masih tercemar dengan dosa ke maqa>m tobat yang membuka hijab antara hamba dengan Tuhan. Maqa>m  ini memperbaiki dan menyempurnakan yang rusak dari kesalahan dan dosa.[20] Inti dari penafsiran Ibnu Arabi dengan Tustari dan Sa‘id H{awwa sama–sama berlandaskan pada makna zahir, tobat nas}u>h}a>. Artinya penafsiran sufistik mereka dalam hal ini masih tetap memperhatikan zahir ayat. Dengan tobat nas}u>h}a> mereka sepakat bahwa kesalahan dan dosa yang diperbuat dapat  bersih dan membuat jiwa suci untuk kembali kepada Tuhan. Karena tobat dilakukan terus menerus maka kedekatan dengan Tuhan dapat dirasakan yang diwujudkan dengan terbuka h}ijab oleh Ibnu Arabi. Hanya dengan jiwa yang suci itulah menjadikan hamba masuk surga sejalan dengan kandungan ayat diatas.
Menurut tafsir Ibnu Arabi, surga yang disiapkan tersebut mempunyai tingkatan sesuai dengan tingkatan tobat seseorang. Awal dari tingkatan tobat menurutnya adalah meninggalkan maksiat dan kembali kepada Allah, sedangkan tingkatan terakhir adalah kembali kepada Allah dari menjauhi dosa apapun sesuai pemahaman ahli hakikat yaitu dosa–dosa yang merupakan bagian dari induk dosa besar.[21] Disamping itu Sa‘id H{awwa juga mengenal tingkatan tobat bahwa yang paling tinggi adalah istimra>r dalam bertobat dimana tidak terbatas pada tujuan penghapusan dosa yang lalu tapi terus menerus bertobat sampai badan berpisah dengan dunia.[22] Kualifikasi tobat demikian  berimplikasi kepada upaya menghindari dosa–dosa lain (tidak semata–mata menutup dosa lampau) sehingga membentuk jiwa yang suci yang selalu merasa dekat dengan Tuhan.
Makna utama dari penafsiran Tustari dan Ibnu Arabi tentang tobat nas}u>h}a> dalam ayat diatas yaitu terbuka hijab antara hamba dan Allah. Tustari memaknainya dengan berhubungan langsung dengan Allah dimana hamba tidak merasa bergantung kepada bumi dan langit tapi melampaui keduanya yaitu berada dekat disisi Allah. Adapun Ibnu Arabi menjelaskan bahwa tobat demikian membukakan hijab dimana hamba naik menuju Tuhan dengan istilah taraqqinya.
Pandangan demikian tidak ditemukan dalam tafsir Sa‘id H{awwa baik istilah taraqqi ataupun hijab. Tampak disini bahwa Sa‘id H{awwa lebih dekat pada makna zahir dalam mengemukakan makna isha>rinya dibanding seperti yang ditunjukkan oleh Tustari dan Ibnu Arabi. Satu sisi Sa‘id H{awwa dengan Ibnu Arabi dan Tustari mempunyai kesamaan dalam tujuan dan implikasi tobat nas}u>h}a> serta tingkatan tobat tapi pada sisi taraqqi dan hijab Sa‘id H{awwa tidak tegas menyatakan demikian, padahal dengan istilah istimra>rnya dalam bertobat sebetulnya menunjukkan jiwa yang bersih dan merasakan  hubungan yang dekat dengan Tuhan.[23] Disini Sa‘id H{awwa tidak memberikan istilah demikian untuk menunjukkan makna tobat supaya pengertiannya tidak abstrak. Karena makna abstrak tersebut sulit bagi orang umum memahami dan mengamalkan apalagi tidak didukung oleh keterangan lain sehingga maknanya terlihat jauh dari zahir ayat.

2. Karakter dosa orang bertobat 
Dalam ayat 17 surat an–Nisa>’` dijelaskan tentang jenis tobat terkait dengan dosa yang dilakukan. Tobat yang terkandung dalam ayat tersebut, terkait dengan yang dilakukan oleh orang yang berbuat salah karena kejahilan.
إنماالتوبة على الله للذين يعملون السوء بجهالة ثم يتوبون من قريب فأولئك يتوب الله عليهم, وكان الله عليما حكيما.[24] 
Terkait dengan orang yang bertaubat dengan segera ( min qari>b ) dijelaskan:
يتوبون بعض زمان قريب كأنه سمى ما بين وجود المعصية و بين حضرة الموت زمانا قريبا.[25]
            Mereka melakukan tobat pada bagian waktu yang dekat dalam artian masa bertobat berada diantara mengerjakan maksiat dan sebelum datangnya kematian.

Berkenaan dengan tobat bagi orang yang berbuat dosa dilakukan sebelum datangnya kematian, ini termasuk dalam pengertian qari>b. Artinya tobat itu masanya sepanjang waktu sebelum nyawa sampai dikerongkongan. Menurut Sa‘id H{awwa tobat harus muncul dari kesadaran atau merupakan ikhtiar (pilihan) bukan karena terpaksa seperti muncul tanda–tanda dekatnya kematian. Makna tobat dalam penjelasan Sa‘id Hawwa diatas, menunjukkan kesadaran bagi orang yang merasakan hubungan yang dekat dengan Tuhan. Sebaliknya, orang yang menangguhkan tobatnya sampai timbul dekatnya kematian atau berhadapan dengan malaikat maut maka tobatnya tidak diterima.[26] Selanjutnya dijelaskan,
من تاب إلى الله وهو يرجو الحياة فإن توبته مقبولة.[27]
Orang yang bertobat kepada Allah berarti ia mengharapkan kehidupan, karena itu tobatnya diterima.

Orang yang bertobat kepada Allah sebagai implikasi dari pilihannya berarti ia mengharapkan kehidupan bukan karena mendekati kematian atau ingin mati. Ini memberi kesan bahwa tobat itu harus dilakukan setiap saat tidak terbatas pada waktu atau pengaruh kondisi apa pun. Sekalipun batasnya menjelang ajal menjemput tetapi tiada seorangpun yang mengetahui akan ajalnya. Mengenai ini, Al-Jailani pernah menyebutkan, manfaatkanlah pintu tobat dan masuklah kedalamnya selama pintu itu terbuka untukmu. Pergunakanlah pintu doa maka ia dibukakan untukmu.[28] Ungkapan al-Jailani diatas mengisyaratkan bahwa bertobat jangan ditunda-tunda sebab pintunya akan tertutup secara tiba-tiba sedangkan pintu doa sengaja dibuka kesannya tidak terbatas. Ihwal bertobat seperti tergambar dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aghar bin Yasa>r al–Muza>ni yang berbunyi :
ياأيهاالناس توبوا إلى الله واستغفروه فإني أتوب إلى الله وأستغفره فى اليوم مائة مرة .
Artinya; Wahai sekalian manusia, bertobatlah kalian kepada Allah dan mohonlah ampunanNya. Sesungguhnya aku bertobat kepada Allah dalam sehari semalam sebanyak seratus kali.[29] 
Nabi Muhammad saw sendiri yang jauh dari dosa senantiasa melakukan tobat dan menyuruh kita umatnya juga berbuat demikian, artinya tobat bukan karena hanya nyata mengerjakan salah. Hadis ini memperkuat penafsiran Sa‘id Hawwa diatas bahwa dengan sering melakukan tobat maka dapat meningkatkan kesucian jiwa  dan bertambah dekat dengan Tuhan.
Pendekatan isha>ri yang dikemukakan Sa‘id H{awwa tersebut terlihat dekat dengan makna zahir sebagaimana terkandung dalam kandungan ayat yang menghendaki tobat dengan segera. Dengan mengharapkan kehidupan dalam bertobat artinya seseorang dapat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya kepada Tuhan. Semakin tinggi frekuensi ibadah yang dilakukan semakin terasa hubungan yang dekat dengan Tuhan.
Implikasi dari makna tobat tersebut menjadikan seseorang menjalani kehidupan terasa dinamis dan tidak pasif sebab orientasi tobatnya bukan karena kematian sudah dekat. Bila seseorang bertobat karena menuju kematian maka akan membawa pada kemalasan dan cara pandang yang pasif. Sebaliknya, dengan sering melakukan tobat menumbuhkan rasa optimisme dalam meraih kedekatan hubungan dengan Allah. Makna sufistik tentang tobat yang ditegaskan Sa‘id H{awwa tidak akan menghambat beraktifitas justeru menumbuhkan kreatifitas sehingga mendorong akal untuk selalu berpikir positif. Pandangan Sa‘id H{awwa diatas akan membawa tasawuf berada dalam dunia nyata.
 Di samping menjelaskan makna diatas, Sa‘id H{awwa juga melakukan analisis terkait makna jahil dalam ayat diatas. Adapun tentang makna kejahilan terkait dengan dosa dari orang yang bertobat dalam ayat diatas dijelaskan oleh Sa‘id H{awwa, jahil yang dimaksud bukanlah jahil berhadapan dengan ilmu) العلم  ( يقابل tapi jahil disini berhadapan dengan akalيقابل العقل)  ). Karena jahil akal demikian, memberi pengertian bahwa ia memilih kesenangan sementara (fana`) dari kesenangan yang abadi.[30] Jahil dalam pandangan Sa‘id H{awwa tipe diatas adalah orang yang berbuat dosa karena tidak mau berpikir (tidak memfungsikan akal)  lalu ia menjatuhkan pilihan pada kesenangan sesaat karena nafsu semata. Ia menyadari akan perbuatan salah yang dikerjakannya. 
Disebutkan Sa‘id H{awwa pengertian lain dari jahil akal yaitu bukanlah yang dimaksud kejahilannya itu karena sewaktu berbuat dosa tapi kejahilannya menjadikan tertutup akalnya tentang akibat yang timbul dari perbuatan jahatnya.[31] Kejahilan tipe kedua ini, orang yang sengaja saat melakukan dosa tapi ia tidak menyadari akan akibat yang muncul dari perbuatan dosa karena ditutupi oleh kejahilannya. Perbuatan dosa yang dilakukan disebabkan kebodohannya yang tidak mengetahui akibat dari perbuatannya.
Terkait dengan uraian diatas Sa‘id H{awwa mengemukakan riwayat Abdurrazaq yang berasal dari Qatadah, ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang mendurhakai Allah baik sengaja atau tidak maka dikatakan jahil.[32] Jadi pengertian berdasarkan riwayat ini, keadaan orang yang berbuat dosa disebut jahil baik sadar atau tidak sadar. Kejahilan disini lebih umum yaitu cenderung kepada jahil ilmu.
Dari penafsiran Sa‘id H{awwa diatas tentang kejahilan dapat disimpulkan bahwa ada tiga kategori, dua diantaranya terkait jahil secara akal:
1.  Perbuatan dosa karena jahil secara akal (sengaja). Si pelaku mengetahui kalau perbuatan itu  dosa dan bakal menanggung akibatnya, tetapi akalnya dikalahkan oleh nafsunya lalu pilihannya tetap tertuju pada kesenangan sementara dengan mengabaikan kesenangan yang sesungguhnya.
2.  Perbuatan dosa karena kejahilannya pada akibat yang timbul dari perbuatannya. Ia sadar ketika melakukan dosa tapi tidak menyadari akibat buruk dari perbuatanya sehingga kejahatan itu tetap dilakukan. Termasuk juga dalam kategori ini yaitu orang yang melakukan kejahatan tanpa menghiraukan hukuman.
3. Kejahilan ketiga terkait dengan perbuatan dosa yang dilakukan dengan sengaja atau tidak maka pelakunya dikatakan jahil. Si pelaku boleh jadi mengetahui akan perbuatan jahatnya atau tidak mengetahuinya ketika berbuat, maka dengan perbuatannya disebut ia jahil disaat perbuatan dosa itu dilakukan. Pada level ini tergambar bahwa siapa saja yang berbuat jahat disebut jahil tanpa kualifikasi.   
Kategori ketiga ini sejalan dengan yang dijelaskan oleh T{aba>t}aba>-i dalam tafsir al–Mi>za>n. Menurutnya jahil disini berhadapan dengan ilmu (kesadaran), berarti orang yang mengerjakan kejahatan karena dorongan hawa nafsu atau syahwat. Dari itu, pada dasarnya setiap maksiat yang dikerjakan termasuk kejahilan manusia.[33] T{aba>t}aba>-i tidak membedakan jahil pada ayat ini sebagaimana Zamakhshari juga demikian namun bagi Sa‘id H{awwa membagi jahil terkait akal dengan perbuatan jahat manusia. Disinilah bedanya penafsiran Zamakhshari seorang mutakallim ataupun T{aba>t}aba>-i yang cenderung tafsirnya ke filsafat dan ilmu pengetahuan dengan tafsir Sa‘id H{awwa. Justeru terlihat perbandingan, bahwa sekalipun Sa‘id H{awwa menyorot makna makna zahir ayat namun tetap memiliki nuansa sufistik. Menurut pandangannya, secara  akal manusia sadar dalam berbuat dosa namun akalnya dikalahkan oleh nafsunya. Karena itu, sangat wajar manusia bersegera bertaubat sebab perbuatan dosa tersebut merupakan unsur kesengajaan. Selain itu, Sa‘id Hawwa menerima juga jahil secara ilmu sebagaimana terungkap dalam riwayat yang dikutipnya. Mengenai riwayat ini, Sa‘id H{awwa tidak ada memberikan komentar. 
Pada dasarnya pemikiran Sa‘id H{awwa tentang makna kejahilan diatas yang cenderung kepada jahil akal, mendukung terhadap makna tobat yang membentuk hidup dinamis. Orang yang melakukan kesalahan merupakan orang yang tidak menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya. Sementara manusia yang jahil ilmu hanyalah yang tertutup akalnya (majnu>n) sehingga tidak bisa berpikir untuk membedakan hal yang baik dan salah apalagi untuk memikirkan hubungan dengan Tuhan. Karena itu, dalam pandangan Sa‘id H{awwa tentang jahil kategori ketiga diatas pada hakikatnya tidak wajar dimiliki oleh orang yang sehat (normal).
Berkaitan dengan menerima tobat, Sa‘id H{awwa juga melakukan analisis terhadap zahir ayat, bahwa Allah menerima tobat bagi pelaku dosa karena kejahilannya. Ada dua hal terkait dengan masalah diatas, pertama tentang kewenangan Allah menerima tobat dan makna kejahilan. Penggunaan “ على ” pada ayat tersebut tidaklah bermakna wajib, karena tidak ada sesuatu yang mewajibkan Allah untuk berbuat. Kata “’ala“ على disini dimaksudkan sebagai ta`kid (memperkuat) untuk الوعد  (janji Allah) bahwa pengertiannya Allah tidak dapat tidak seperti wajib yang tidak dapat ditinggalkan.[34] Penjelasan Sa‘id H{awwa diatas tidak menghilangkan makna wajib bagi Allah maksudnya sama saja yaitu Allah tidak dapat tidak, melaksanakan janjinya dalam menerima tobat. Namun demikian Sa‘id H{awwa  tidak dengan tegas menyatakan wajib  bagi Allah dalam menerima tobat. Ia tetap mengakui hak prerogatif Allah untuk menerima tobat sebagai indikasi tidak ada unsur lain yang mempengaruhi kehendakNya.   Disini Sa‘id H{awwa sepertinya tidak mau dianggap terlibat dalam polemik kalam mu‘tazilah sebab tentang kewajiban Allah menepati janji termasuk dalam ajaran mu‘tazilah.
Sebagaimana terlihat dalam tafsir karya Zamakhshari (pengikut mu‘tazilah) ketika menafsirkan ayat tersebut menyatakan, sesungguhnya menerima tobat dan mengampuni orang yang bertobat wajib bagi Allah. Ini pemberitahuan oleh Allah bahwa Allah mewajibkan pada dirinya seperti kewajiban hamba untuk taat.[35] Menepati janji dan berbuat yang terbaik untuk manusia merupakan wajib bagi Tuhan. Kewajiban Tuhan bersumber pada sifat kesempurnaanNya. Tidak melaksanakan janji dan ancaman berarti ketidaksempurnaan dalam pengetahuan dan kemauan Tuhan.[36] Kewajiban Tuhan melakukan demikian tidak ada pengaruh dari sesuatu tapi memang sudah merupakan kesatuan yang terdapat pada diri Tuhan, demikian pendapat yang dianut oleh mu‘tazilah. Sa‘id H{awwa secara tidak langsung juga menggunakan pendapat demikian namun tidak tegas mengakui bahwa Allah wajib melakukan demikian. Sa‘id H{awwa tidak menyebut dalam tafsirnya tentang mu‘tazilah atau asy‘ariyah artinya ia tidak menaruh perhatian tentang wacana kalam.
 Penafsiran sufistik Sa‘id H{awwa disamping menjelaskan makna tobat, ia juga membahas ayat dari tinjauan bahasa. Bila diperhatikan dengan pandangan Zamakhshari dalam tafsirnya yang dengan tegas mengatakan Allah berkewajiban menerima tobat terhadap hambaNya. Sedangkan Sa‘id H{awwa tidak dengan tegas mengatakan demikian, namun pada dasarnya sama saja dengan Zamakhshari, sebab makna ‘ala> pada ayat tersebut menurut Sa‘id H{awwa hanya untuk menguatkan akan janji Allah untuk menerima tobat. Kelihatannya Sa‘id H{awwa memahami bila menggunakan kata wajib akan membawa persepsi pada paham mu‘tazilah, sekalipun ia tidak menyatakan sebagai pengikut kepada aliran tertentu. Analisis kebahasaan dalam penafsiran termasuk bagian dari pengungkapan makna zahir ayat.

3. Tobat membentuk diri lebih tawadhu’
Selanjutnya Sa‘id H{awwa menjelaskan tentang tingkat implementasi tobat seperti dikandung dalam ayat 128 surat al–Baqarah:
ربنا واجعلنا مسلمين لك ومن ذريتنا أمة مسلمة لك وأرنا مناسكنا وتب علينا إنك أنت التواب الرحيم .[37]
Ayat ini menerangkan tentang usaha Ibrahim dan Ismail membangun kembali Ka’bah lalu mereka menyampaikan doa kepada Allah agar menjadi orang yang tunduk, berserah diri ( مسلمين ( begitu juga keturunannya. Permohonan selanjutnya adalah agar tobat mereka diterima.  Ini termasuk doa orang yang sungguh-sungguh berserah diri yang dicontohkan Ibrahim dan Ismail;
أي: يا ربنا إنا تقربنا إليك ببناء هذا البيت فتقبل عملنا, إنك أنت السميع لدعائنا العليم بضمائرنا ونيتنا.[38]
Ya Tuhan kami, seungguhnya kami telah mendekatkan diri kepadaMu dengan membangun rumah ini (ka‘bah) maka terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar akan doa kami lagi maha mengetahui terhadap hati dan niat kami.

Kemudian Sa ‘id Hawwa mengutip perkataan Wuhaib bin al-Ward bahwa ia menangis ketika dia membaca ayat ini dan menyatakan;
يا خليل الرحمن ترفع قوائم بيت الرحمن وأنت مشفق أن لا يتقبل منك.[39]
Wahai kekasih Allah (nabi Ibrahim), engkau tinggikan pondasi baiturrah}ma>n (Ka‘bah) kemudian engkau bersedih bahwa pengabdianmu tidak akan diterima.

Dalam penafsiran di atas Sa‘id Hawwa ingin menegaskan bahwa Ibrahim dan Ismail merasakan pengabdian yang mereka lakukan itu masih kecil dibandingkan nikmat yang dianugerahkan Allah. Padahal pengorbanan mereka membangun Ka‘bah sebagai salah satu shi‘ar ibadah haji khususnya dan kiblat kaum muslimin adalah suatu amal yang luar biasa. Bahkan Ibrahim digambarkan sebagai orang yang merasakan kecemasan bahwa pengorbanannya yang mulia seakan-akan menurutnya tidak ada artinya dimata Allah.
Ini merupakan pengajaran untuk umat dalam berbuat kebajikan jangan merasa sudah berbuat baik padahal perbuatan itu tiada nilainya dihadapan Allah karena niat yang tidak bersih. Sebaliknya, harapan untuk mendapatkan pahala justeru boleh jadi akan mengurangi pahala yang ada. Sementara itu Ibrahim yang berbuat sangat luar biasa masih merasakan penyerahan dirinya belum total.
Kemudian doa mereka diakhiri dengan terimalah tobat kami وتب علينا mereka bermohon tobat kepada Allah. Sa‘id H{awwa menafsirkan watub ‘alaina> adalah;
ما فرط منا من التقصير, قالا ذلك هدما لنفسيهما وإرشادا لذريتهما وللخلق.[40]
Apa saja kelalaian yang luput dari kami. Ucapan mereka tersebut menggambarkan dirinya luluh, hina rendah dan sebagai pengajaran untuk keturunannya dan manusia seluruhnya.

Tobat dalam penafsiran Sa‘id Hawwa dalam hal ini dimaknai dengan tobat dari kesalahan-kesalahan yang tidak disadari. Permohonan tobat mereka dari apa saja kekurangan yang terlupakan atau kelalaian pada mereka. Tobat dalam doa mereka mengandung pengertian bahwa mereka sungguh berserah diri dengan merasakan diri mereka hancur luluh, hina ( (هضما لنفسيهما. Ibrahim dan Ismail menunjukkan kepasrahan totalitas dirinya dalam bertobat kepada Allah. Ini menunjukkan kesungguhan dan kesadaran yang kuat bahwa mereka takut bila mereka masih lalai dari mengingat Allah.[41] Tobat yang mereka lakukan bukan karena berbuat jahat atau dosa justeru sebelum tobat dipanjatkan mereka melakukan amal saleh dengan membangun Ka‘bah sebagai tempat peribadatan. Ungkapan muslimain dalam doanya menunjukkan sebagai bentuk penyerahan diri secara utuh. Artinya mereka masih merasa penyerahan dirinya belum sepenuhnya makanya mereka bertobat dari hal yang mereka alpa. Dalam istilah al-Alusi, tobat yang mereka lakukan dalam rangka lebih meninggikan kualitas iman dan juga sebagai pembelajaran untuk manusia dalam bertobat.[42] Makna muslimain sebagai penyerahan diri maksudnya supaya berkesinambungan. Mereka khawatir bahwa hatinya berpaling sesaat dalam hal ketundukkan kepada Allah.[43]
            Istilah had}man dalam tafsir Sa‘id H{awwa sebagai cermin penyerahan diri Ibrahim dan Ismail yang merasa dirinya sudah luluh, hanyut dalam tobat yang dilakukan. Istilah luluh yang dikemukakan Sa‘id H{awwa menunjukkan bahwa mereka merasakan hina seakan tiada arti di haribaan Tuhan. Dalam istilah tasawuf kehinaan yang dalam dirasakan dalam bertobat bisa diartikan sebagai fana. Seperti disebutkan oleh Hasan Sharqawi dalam buku Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah, tobat dapat bermakna fana terhadap diri dan tetap bersama Allah.[44]  Namun demikian Sa‘id H{awwa tidak menyebut dengan kefanaan. Tampak disini, Sa‘id H{awwa tidak ingin mengemukakan istilah yang bisa mendatangkan makna kontroversial yang mempersulit pemahaman. Istilah fana’ dalam tasawuf biasanya identik dengan paham tasawuf teoritis. Sa‘id H{awwa dalam metodologi tafsir sufinya menghindari istilah-istilah yang kontroversial dan dalam pandangannya disebut dengan ungkapan yang tidak wajar.[45] Karena itu, Sa‘id H{awwa berusaha memahami makna sufistik ayat dengan tetap bersandar pada konteks ayat sehingga pemahaman mengandung makna aplikatif. Intinya, Sa‘id Hawwa ingin menjelaskan bahwa perwujudan tobat yang dilakukan Ibrahim dan Ismail supaya menjadi teladan dalam bertobat yang sungguh-sungguh.
            Penafsiran makna tobat sebagai merasakan diri luluh tersebut didukung oleh ungkapan muslimain tersebut. Makna muslimain sebagai bukti bahwa jiwa raganya setulusnya diserahkan kepada Allah sekalipun mereka statusnya sebagai Nabi yang ma‘s}um (terjamin dari dosa). Setelah mereka menunjukkan berserah diri (muslimain) kemudian mereka bertobat. Inilah tobat yang sesungguhnya supaya senantiasa merasakan dekat dengan Allah. Makna demikian termasuk makna isha>ri yang dapat dipahami dan pelajaran bagi orang yang sungguh-sungguh dalam bertobat.    

4. Implikasi bertobat
Dalam melakukan tobat tidak cukup hanya kembali kepada Allah tapi harus disertai dengan amal saleh sebagaimana terungkap dalam ayat 70 surat al–Furqan (25).
إلاَ من تاب وءامن وعمل عملا صالحا فأولئك يبدل الله سيئاتهم حسنات وكان الله غفورارحيما.[46] 

Sa ‘id H{awwa menjelaskan bahwa makna tobat dalam ayat ini adalah;
أي: التوبة النصوح, إما بأن يوفقهم الله إلى عمل الحسنات بدل السيئات أو أن السيئة تنقلب حسنات.[47]
Tobat yang dimaksud adalah at-taubah an-nas}u>h}} Dengan tobat nas}u>h} (murni) maka Allah akan memberikan taufik kepada mereka yang tobat untuk selalu melakukan amal baik sebagai pengganti kejahatan sebelumnya. Selain itu dengan tobat yang murni ini maka dapat merubah kejahatan menjadi kebaikan. 
           
            Makna tobat yang pahami dari penafsiran Sa‘id H{awwa diatas adalah tobat yang bersih dari hati pelakunya, sehingga tobat demikianlah yang bisa menghapus dosa-dosa yang pernah diperbuat. Sebagai indikator dari tobat nas}u>h} ( bersih, murni) yaitu pelaku tobat mendapatkan taufik dari Allah yang mendorongnya untuk mengerjakan yang baik sebagai penghapus kesalahan masa lalu. Taufik bagi para sufi merupakan anugerah yang diperoleh oleh orang yang berhati suci sehingga perbuatannya senantiasa mendapat bimbingan Tuhan.[48] Makna taufik demikian akan selalu memberikan banyak kemudahan hidup bagi orang yang betul-betul menjalani tobat yang murni. Taufik yang diperoleh juga merupakan cerminan bagi orang yang merasakan hubungan yang dekat dengan Tuhan. Kedekatan inilah yang membimbing dalam perbuatannya.    
Ibnu Arabi menafsirkan orang bertobat dalam ayat 70 diatas dengan kembali kepada Allah dan membebaskan diri dari maksiat maka Dia mengganti syirik dengan  keimanan begitu juga keburukan diganti dengan kebaikan. Dengan demikian keadaan diri sebelumnya yang berdosa terhapus dan tetaplah iman padanya. Inilah yang disebut dengan tobat hakiki.[49] Tustari menjelaskan dalam tafsirnya tobat tidak sah sebelum seseorang itu banyak meninggalkan hal yang mubah (halal). Ia mengutip hadis Aishah yang mengatakan, jadikanlah kehalalan itu sebagai dinding/ tutupan antara kamu dan hal yang haram.[50] Hal ini dapat dilakukan oleh orang yang dekat dengan Tuhan dan merasakan terbimbing olehNya. Kalau Ibnu Arabi menyatakan tobat hakiki dengan tetapnya keimanan dan lepas dari kemaksiatan, hal ini dikuatkan oleh Tustari dengan sering meninggalkan hal yang halal sebagaimana layaknya ketika menjauhi perkara yang haram. Ini sejalan dengan makna ayat sebagai pengakuan diri bahwa tobatnya murni dan berharap tergantinya keburukan dengan kebaikan.
            Sehubungan dengan ini, Sa‘id H{awwa menambahkan bahwa tobat harus diiringi dengan amal saleh. Amal saleh sebagai realisasi dari tobat. Dengan demikian kejahatannya betul–betul hapus dan berganti dengan kebaikan hanya dengan tobat yang murni ( التوبة النصوح (.[51] Sementara itu penafsiran Ibnu Arabi terkait ayat ini hampir semakna dengan penafsiran Tustari dan Sa‘id H{awwa, dimana Ibnu Arabi terlihat masih berpegang pada makna zahir ayat. Ide dasar penafsiran mereka dimana tobat dari dosa yaitu kembali kepada keimanan dengan meninggalkan syirik yang diikuti dengan berbuat kebajikan. Masing–masing tetap berpegang pada makna zahir ayat. Istilah Ibnu Arabi terkait dengan tobat diatas disebut sebagai tobat hakiki, Sa‘id H{awwa menyebut sebagai tobat murni (nas}u>h}).
            Sa‘id H{awwa menegaskan mengenai tobat yang murni harus terbukti dengan amal saleh, karena itu amal jahat yang lampau akan berganti menjadi amal baik, artinya amal jahat menjadi terhapus. Penafsiran Sa‘id H{awwa dan penafsiran at-Tustari dan Ibnu Arabi saling mendukung. Bila dianalisis penafsiran Sa‘id H{awwa menghendaki tindak nyata dalam bertasawuf. Seperti ditegaskannya tobat tidak mencapai sasaran yang diharapkan untuk mengganti keburukan dengan kebaikan bila tidak ada usaha perbaikan termasuk perubahan dalam masyarakat. Ini sebagai ciri dari tasawuf Sa‘id H{awwa yang ingin melakukan perubahan dalam masyarakat melalui pendidikan ruhani.[52] Dengan melihat penafsiran–penafsiran Sa‘id H{awwa diatas secara metodologis ia menggunakan makna isha>ri yang berdasar pada makna zahir sehingga penafsirannya dapat disebut dengan  tafsir sufi isha>ri.
            Penafsiran sufistik masing–masing diatas dapat dipahami, masih berpegang pada makna zahir ayat. Ini mengindikasikan bahwa tafsir Ibnu Arabi tidak selalu meninggalkan makna zahir walaupun sering mengedepankan makna bat}iniyyah apalagi dengan didukung oleh tinjauan filsafatnya.

C. Kesimpulan
Makna tobat yang mendasar adalah dilakukan secara istimra>r (berkelanjutan) serta diikuti oleh amal saleh. Tobat seperti ini yang dapat menghapuskan kesalahan dan dosa. Menurut penafsiran sufistik di atas, tobat harus diiringi dengan amal saleh yang dapat disaksikan orang lain. Sebab, tobat tidak mencapai sasaran yang diharapkan untuk mengganti keburukan dengan kebaikan bila tidak ada usaha perbaikan diri dan masyarakat. Pandangan demikian, ingin menciptakan masyarakat yang selalu dekat dengan Allah dengan istilah ia ingin membangun tasawuf kolektif.
Tobat yang sesungguhnya pernah ditunjukkan oleh nabi Ibrahim dan Ismail setelah membangun Ka‘bah. Tobat dalam doa yang disampaikannya didahului dengan pengakuan diri sebagai orang yang tunduk pasrah (muslimain) secara totalitas sehingga menjadikan mereka merasakan luluh dalam kefanaan saat bertobat.
Tobat yang dilakukan sangat berpengaruh nyata dalam membentuk pribadi yang tawadhu’ dan dapat menjaga prilaku dan ucapan dari hal-hal yang mencemari kesucian jiwa. Selain itu, orang yang bertobat dapat menciptakan keteladanan bagi orang lain.
______


[1] Al–Ghazali dalam Ih}ya’ ‘Ulu>muddin menyebutkan urutannya sebagai berikut; tobat, sabar, faqir, zuhud, tawakal, mah}abbah dan ma’rifah.  Al-Ghazali, Ih}ya’ Ulum ad-Din (Mesir: Maktabah Must}afa al-Ba>bi al-H{alabi wa Aula>dihi, 1939/1358) Jilid 4  
[2] Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 64 
[3] Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab Ta’rifa>t (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1988/1408 H), Cet. Ke–3, 70. Terdapat juga dalam; Abi Khazam, Mu’jam …, 64 
[4] Abu Bakar Muhammad Al-Kalabazi, At-Ta‘arruf li madh-hab Ahli at-Tas}awwuf  (Kairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1388/1969), Cet.ke-1,111
[5] Abi Khazam, Mu’jam …, h. 64. Dari pengertian ini ditegaskannya tobat itu wajib setiap saat, maka inilah yang disebut at–ta>ib التائب , Lihat juga; Sahl at-Tustari, At–Tustari,  Tafsi>r at–Tustariy (Beirut:Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 74  
[6] Artinya; Hai orang yang beriman tobatlah kamu kepada Allah dengan tobat yang sesungguhnya ( توبة نصوحا ), Tuhanmu akan menghapus kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir sungai–sungai dibawahnya. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H     
[7] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet. Ke–6, 6004   
[8] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet. Ke–6, 6004. Disebutkan juga, pengertian tobat menurut Sa‘id Hawwa yaitu; استغفروه من الذنب ثم ارجعوا إليه باطاعة  Artinya; Mohon ampunlah kepadaNya dari dosa kemudian kembalilah kepadaNya dengan ketaatan. Lihat; Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet. Ke–6, 2532  
[9] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet. Ke–6, 6004     
[10] Disebutnya bahwa Ia bukan merusak hubungan para pelaku tarikat dengan shaikh. Ia juga menjelaskan bahwa dirinya tidak ada keterkaitan dengan tarikat.      واشترطت على التصوف أن لا أقيد نفسى بطريقة. لست حريصا على أن ينفض الناس عن شيوخهم.  , Lihat; Sa‘id Hawwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9, 12.   
[11] Salah satu syarat tafsir sufi isha>ri adalah tidak keluar dari makna zahir ayat. adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,279.   
[12] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet. Ke–6, 6005
[13] Sahl At–Tustari,  Tafsi>r at–Tustariy  (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 171 
[14] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet. Ke–6, 6013 
[15] من شرط التوبة النصوح الاستمرار على ذلك إلى الممات ثم لا يعود فيه أبدا Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet. Ke–6, 6013
[16] التوبة أن لا تنسى ذنبك  Tobat itu adalah kamu tidak lupa terhadap dosa. Sahl at-Tustari, At–Tustari,  Tafsi>r at–Tustariy (Beirut:Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 74   
[17] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet. Ke–6, 6014
[18]  Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 147. 
[19] Ibnu Arabi,  Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 333 
[20] Ibnu Arabi,  Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 333
[21] Ibnu Arabi, Tafsir, Jilid 2, h. 333
[22] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet. Ke–6, 6013  
[23] Dengan terhapusnya dosa, sesuai dengan makna ayat QS. At-Tah}ri>m: 66
[24] Artinya; Sesungguhnya tobat disisi Allah hanyalah tobat bagi orang–orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, kemudian mereka bertobat dengan segera maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya. Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H   
[25] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke 6, 1018. Lihat juga; Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‘Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 2,620.    
[26] Termasuk tobatnya orang kafir yang tetap dalam kekafirannya, atau orang yang murtad dan ingin kembali pada iman tapi sudah terlambat karena datangnya tanda kematian. Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke–6,1018. Demikian juga, M. Husein T{abat}aba-i,  Al–Mi>za>n fi> Tafsi>r al–Quran (Beirut: Muassasah al–A’lami, 2006 M/1428 H), Juz 3-4, Cet. Ke-1, 466
[27] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke 6, 1018
[28] Abdul Qadir Al-Jailani, al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Cet.ke-2, 31, Tahqi>q: Shaikh Anas Mihrah 
[29] Sahih Muslim, Lihat juga penjelasannya; Abdul Qadir Isa, H{aqa>iq at-Tasawwuf  (Jakarta: Qisthi Press, 2006), Cet. Ke–2, 201 (Terj. Khairul Amru Harahap, Lc dan Afrizal Lubis, Lc). 
[30] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke 6, 1017   
[31] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke 6, 1017 
[32] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke 6, 1017   
[33] M. Husein T{abat}aba-i,  Al–Mi>za>n fi> Tafsi>r al–Quran (Beirut: Muassasah al–A’lami, 2006 M/1428 H), Juz 3-4, Cet. Ke-1, 463
[34] كلمة "على" هنا لا تفيد الوجوب على الله, إذ لا يجب على الله شيئ ولكنه لتأ كيد الوعد يعنى أنه يكون لا محالة كالواجب الذى لا يترك Lihat; Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke–6, 1017
[35] Zamakhshari, al–Kashshaf  ‘an H{aqa>iq at–Tanzi>l wa ‘Uyu>n al–Aqa>wi>l fi> Wuju>h at–Ta’wi>l (Mesir: Maktabah Mesir, t.th), juz 1, 427. Senada dengan ini juga dijelaskan oleh T{abat{aba-i, Allah menjanjikan kepada hamba untuk menerima tobat orang yang tobat (( التائب  karena Allah tidak akan menyalahi janjiNya,lihat; M. Husein T{abat}aba-i,  Al–Mi>za>n fi> Tafsi>r al–Quran (Beirut: Muassasah al–A’lami, 2006 M/1428 H), Juz 3-4, Cet. Ke-1, 462   
[36] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI-Press, 1987), Cet. Ke–1, 84-88
[37] Artinya; Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada engkau dan jadikanlah diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada engkau dan tunjukkanlah pada kami tentang peribadatan kami dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya engkaulah yang maha penerima tobat lagi maha penyanyang.  Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al- Munawwarah, 1415 H
[38] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6, 273
[39] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6, 272 
[40] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6, 273 
[41] Dalam istilah zunnun al-Misri, ini termasuk tobat orang khusus yaitu tobat dari kealpaan dan melihat kekurangan diri. Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 64
[42] Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‘Imran (Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 1,530.   
[43] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 1, Cet. Ke–6, 273
[44] Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-1,89 
[45] Sebab, istilah fana pemahamannya bermuara kepada ittihad (kesatuan dengan Tuhan) seperti yang dipahami para sufi falsafi. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 80-83. Pemahaman seperti ini yang dihindari Sa’id H{awwa. Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9,5.  
[46] Artinya; Orang-orang yang berdosa pada ayat 68 akan mendapat azab pada hari kiamat, kecuali orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh maka kejahatan mereka akan diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H   
[47] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet. Ke–6, 3879
[48] Secara definitif makna taufik menurut para sufi adalah, Allah menjadikan perbuatan hambanya sesuai dengan yang disukai dan dirid}aiNya (جعل الله فعل عباده موافقا لما يحبه و يرضاه). Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 65   
[49] Ibnu Arabi,  Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 85
[50] Sahl At–Tustari,  Tafsi>r at–Tustariy  (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 114
[51] Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet. Ke–6, 3879
[52] Makna ini dipaparkan dalam bukunya, lihat; Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 2007 / 1428), Cet. Ke–9, 4. Lihat juga; Sayid M. Aqil bin Ali al–Mahdi, Madkhal ila at–Tasawwuf al–Islami ( Kairo: Darul Hadis, tth), Cet. Ke–2, 29. Ia menjelaskan Sa’id H{awwa termasuk pengkaji tasawuf yang berupaya menjadikan tasawuf agar berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar