Senin, 12 Desember 2011

Analisis Orientasi Penafsiran Sa’id Hawwa

Analisis Orientasi Penafsiran Sa’id Hawwa
Oleh : Septiawadi
( Dosen Tafsir Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung )
Abstract
                                                 
Mufasir interpret Alquran beside chosen one interpretation method also its idea tendency or  the interpretation orientation. Interpretation to Sa'Id Hawwa studied in this article is focussed to three aspect of study keislaman that is about kalam, fiqh and tasawuf. Writer look for the data [of] pursuant to ayat interpreted by Sa'Id Hawwa of concerning aspect of later. Then the interpretation is analysed by content analyse method to be taken a conclusion inductively. Orientation the related interpretation Sa'id Hawwa three aspect of above not show the tendency of it to certain section ( mazhab ).

Kata kunci : orientasi tafsir, pemikiran tafsir  
     
A.  Pendahuluan
Kegiatan penafsiran terhadap Alquran selalu dilakukan oleh ilmuwan atau ahli tafsir untuk menjelaskan kandungan Alquran agar mudah dipahami, dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan supaya manusia hidup selamat didunia dan akhirat. Sudah tidak terhitung macam kitab tafsir yang dihasilkan para mufasir artinya studi tentang Alquran tidak akan berhenti dilakukan sebab Alquran selalu hadir dalam setiap masa yang tentunya membutuhkan penafsiran sesuai perkembangan setiap zaman dan kemajuan peradabannya. Para pengkaji Alquran senantiasa menafsirkan Alquran dengan mendasarkan pada keahlian ilmu pengetahuan dan kecenderungan pemikirannya.
            Dua hal ini paling tidak memberikan pengaruh langsung bagi mufasir dalam rangka memahami dan menjelaskan petunjuk Alquran dalam kitab tafsirnya. Contohnya, Tafsir yang ditulis oleh Zamakhsyari ( w. 538 H ) yang memiliki keahlian bahasa dan balaghah bahasa Arab, ia menggunakan ilmu kebahasaan dan sasteranya tersebut sebagai alat untuk mengupas makna Alquran. Tersebutlah kitab tafsirnya sebagai tafsir yang beraliran lughawi ( bahasa dan sastera Arab ). Sedangkan segi pemikirannya yang cenderung ke Mu’tazilah mewarnai pula dalam tafsirnya sebagai kitab tafsir yang bercorak kalam. Bila kita analisa dan teliti berbagai kitab tafsir, ditemukan didalamnya aliran atau corak tafsir yang merupakan cerminan dua hal diatas atau bisa lebih. Ada kita jumpai pula kitab tafsir yang memfokuskan bahasan dari aspek ilmu Alquran disamping mengandung corak tafsir tertentu seperti tafsir yang ditulis oleh Said Hawwa yang dijadikan objek penelitian ini.
Said Hawwa menjelaskan dalam pendahuluan kitabnya bahwa ia menggunakan pendekatan kajian tafsirnya dengan memperkenalkan teori al – wahdah al –Quraniyah. Teori yang dikembangkan ini termasuk bagian dari ilmu munasabah Alquran yang nota bene rumpun dari ilmu Alquran. Kemudian dari aspek pemikiran atau corak tafsir bisa dikaji dari berbagai aspek pemikiran tafsir. Tulisan kali ini penulis ingin menggali orientasi Sa’id Hawwa dalam tafsirnya al – Asas fi at – Tafsir.
Metode Penelitian
Metode Penelitian terkait pembahasan disajikan dalam dua bahasan pokok yaitu mengenai profil mufasir dan kedua tentang kitabnya yang menjadi analisis utama. Untuk mengawalinya penulis akan uraikan terlebih dahulu menyangkut  kondisi sekilas historis tempat kelahiran Sa’id Hawwa baru kemudian biografi Sa’id Hawwa dan terakhir membedah kitab tafsirnya.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, data – data berupa penafsiran Sa’id Hawwa terhadap ayat terkait tema yang dikemukakan dideskripsikan apa adanya untuk kemudian dianalisa dan dikritisi guna memperoleh kesimpulan. Sebagai hasil penelitian ini, akan mengungkap kecenderungan pemikiran Sa’id Hawwa berdasar tafsirnya tentang aspek ajaran agama yaitu aspek kalam, aspek fiqh dan aspek tasawuf.  

B.     Latar Belakang Historis Kehidupan Sa’id Hawwa
1.      Seting Sejarah Syria Abad Modern
Penghujung paro kedua abad XIX adalah era menyedihkan bagi keberadaan khilafah Islamiyah tepatnya ketika pemerintahan Usmani dipegang oleh Sultan Abdul Hamid II ( berkuasa 1876 – 1909 ) ( Nasution, 1986 : 123 ). Pemerintahan Kesultanan Abdul Hamid merupakan masa – masa rawan kehancuran kerajaan Turki Usmani. Berbagai permusuhan, pertentangan juga konflik dalam negeri menggerogoti kekuasaannya.
Kekuasaan Usmani hilang di Syria, negeri tersebut di pimpin oleh Amir Faisal dari Bani Hasyim Makkah yang berjuang melawan Perancis. Namun pada tahun 1920 Syria jatuh ke tangan Perancis dan Faisal diusir dari Syria. Berdasarkan mandat Liga Bangsa – Bangsa, Perancis membentuk pemerintahan sejak mengalahkan Amir Faisal sampai tahun 1946. Pada tahun sekitar 1940, Partai Ba’ts Sosialis Arab berdiri di Syria oleh para tokoh gerakan Ihya al- Arabi yaitu Mikhail Aflaq ( seorang kristen ortodoks ), Shalahuddin Baithar serta pengikut filosof Zaki al – Arsuzi ( orang Antiokia ) ( John Esposito, 2002 : 274 ).
Pada tahun 1946 Syria merdeka dari Perancis namun kecenderungan sekular tetap mewarnai Syria merdeka. Sejak tahun 1946 – 1963 timbul serangkaian kudeta militer, pemberontakan kerap terjadi. Pada 8 maret 1963 kudeta militer meresmikan era pemerintahan Ba’ts. Pemerintahan ini didukung minoritas Alawiyah Syi’ah dengan presiden Hafiz al – Asad, ia tidak mendapat tempat dihati mayoritas rakyat Syria yang Sunni. Selain itu, isu sekularisme serta paham sosialismenya mendapat tantangan dari Ikhwan Syria. Pemberontakan Islam kelompok Ikhwan pertama pecah tahun 1964 di Hama ( John Esposito, 2002 : 272 ). Dari sinilah awal kemelut perseteruan pemerintah dengan kelompok Ikhwan. Berbagai bentuk perlawanan seperti nuansa sektarian sampai pemberontakan motif politik menjadi akrab dalam perjalanan pemerintahan rezim al - Asad. Mulai tahun 1963 sampai 1982 merupakan masa pergolakan rezim dengan Ikhwan al –Muslimin Syria.
Pergolakan ini agak surut dengan dikeluarkan dekrit oleh pemerintah yang mengancam dan memperlemah keberadaan Ikhwan disamping para petinggi Ikhwan ditahan. Sejak dikeluarkan dekrit ( Juli 1980 ), kelompok oposisi termasuk Ikhwan membentuk Front Islam Syria ( Oktober 1980 ) yang digagas oleh Sa’id Hawwa tokoh utama, bersama Adnan Sa’aduddin serta sekretaris jenderalnya Syaikh Muhammad al – Bayanuni. FIS yang dibentuk ini merupakan wadah kelompok oposisi Islam yang dipimpin orang Ikhwan namun tidak banyak membawa pengaruh bagi kelangsungan perjuangan oposisi Islam. Disamping hubungan FIS dengan negara tetangga yang belum mendapat dukungan, ditambah dengan keberpihakan Ayatullah Khomeini pada rezim Syria ( John Esposito, 2002 : 279 ).  Dengan demikian perjuangan pengikut Ikhwan tidak tampak lagi di permukaan. Sementara itu rezim al – Asad di Syria dan pendukungnya kelompok Alawiyah melanjutkan pemerintahannya.

2.      Deskripsi Riwayat Hidup Sa’id Hawwa
Dalam situasi politik Syria dibawah kekuasaan Perancis demikian, Sa’id Hawwa lahir yang kemudian menjadi tokoh pergerakan, da’i dan juga dikenal sebagai seorang zuhud. Nama lengkapnya adalah Sa’id bin Muhammad Dib Hawwa, lahir tahun 1935 di kota Hamah, Syria. Dalam usia 2 tahun, ia sudah ditinggal wafat oleh ibunya. Pendidikan dan bimbingan masa kecil dilanjutkan oleh ayahnya dan mereka pindah tinggal dirumah neneknya. Ayahnya seorang pemberani dan pejuang dalam melawan kolonial Perancis (Abdullah al – Aqil, 2003 : 401 ). Darah pejuang dalam dirinya mengalir dari ayahnya ditambah situasi Syria yang sedang menghadapi penjajahan Perancis membuat Sa’id Hawwa tumbuh menjadi pemuda yang tegar.
Perjalanan intelelektualnya diawali dengan menggali ilmu kepada beberapa orang syaikh di Syria. Diantara ulama yang terkenal adalah syaikh dari kota Hamah, yaitu; syaikh Muhammad al – Hamid, syaikh Muhammad al – Hasyimi, syaikh Abdul Wahab Dabas Wazit, syaikh Abdul Karim ar – Rifa’i, syaikh Ahmad al – Murad dan syaikh Muhammad Ali al – Murad. Selain itu, Sa’id Hawwa juga belajar kepada Mustafa as – Siba’i, Mustafa az – Zarqa, Fauzi Faidhullah dan beberapa orang ustadz lainnya (Abdullah al – Aqil, 2003 : 401 ).
Pada tahun 1952 ia bergabung dalam Jam’iyah Ikhwan al – Muslimin. Beberapa tahun setelah itu, ia mengikuti kuliah di Universitas Syria dan lulus pada tahun 1961. Kemudian mengikuti wajib militer dan lulus sebagai perwira tahun 1963. Setahun kemudian ia melaksanakan pernikahan dan dikarunia empat orang anak (Abdullah al – Aqil, 2003 : 401 ). Menurut pengakuan al –Mustasyar Abdullah al – Aqil ( 2003 : iv ) yang sempat bertemu dengan Sa’id Hawwa bahwa Sa’id Hawwa dikenal sebagai penyabar, ramah dan memiliki sifat tawadhu’, wara’dan zuhud. Kecenderungan sufi lebih dominan dalam hidupnya.
Kiprahnya di dunia pendidikan dimanifestasikan dalam lembaga – lembaga pendidikan, seperti pada al – Ma’had al – Ilmi di kota al – Hufuf wilayah Ihsa selama dua tahun. Selain itu Sa’id Hawwa juga mengajar di Madinah tiga tahun dan di Saudi Arabia sekitar 5 tahun. Pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya juga disampaikan lewat ceramah, diskusi dan juga dituangkan dalam beberapa buku. Ia termasuk penulis besar pada masa modern ini, kemampuan menulisnya mengambil tema; dakwah dan gerakan, fiqh, tentang pembinaan jiwa ( ruhiyah – tasawuf ) (Abdullah al – Aqil, 2003 : 402 ). Salah satu karyanya menyangkut tema tasawuf yaitu Tarbiyatuna ar – Ruhiyah. Kelebihan buku ini tidak saja berbicara tasawuf pasif tapi tasawuf untuk membangkitkan jiwa supaya membangun masyarakat yang berjiwa kokoh dan bersih.
Sa’id Hawwa pernah memimpin demonstrasi menentang undang – undang Syria tahun 1973 (Abdullah al – Aqil, 2003 : 402 ). Konsekuensinya ia ditangkap dan dipenjara sejak 5 maret 1973 – 29 Januari 1978. Dalam masa tahanan ini digunakan untuk menulis kitab tafsir dan buku – buku dakwah / gerakan. Pada waktu itu pemerintahan al – Asad membuat undang – undang baru yang menghilangkan penyebutan Islam sebagai agama negara. Ketidak puasan Ikhwan bukan saja hal demikian namun yang lebih utama lagi karena al – Asad berasal dari golongan sekte Alawiyah yang dianggap sesat ( John Esposito, 2002 : 272 ).
Selesai menjalani kurungan, pada tahun 1979 Sa’id Hawa mengadakan perjalanan ke Pakistan, ke Iran. Sewaktu kunjungan kedua di Pakistan ia menghadiri pemakaman Abul A’la al – Maududi. Pada kesempatan lain Sai’d Hawwa bersama delegasi Islam Syria bertemu Khomeini serta Menteri Luar Negeri Iran Ibrahim Yazdi untuk membicarakan bantuan terhadap saudara – saudara muslim di Syria. Ia sampaikan keadaan yang sesungguhnya yang diperjuangkan oleh Ikhwan di Syria kepada Khomeini dalam rangka mempererat ukhuwah Islamiyah (Abdullah al – Aqil, 2003 : 403 ). 
Pada pertengahan tahun 1980 – an aktifitas Sa’id Hawwa dengan Ikhwan tidak terdengar lagi. Apalagi setelah kecewa terhadap sikap Khomeini yang kurang menguntungkan bagi Ikhwan dan FIS.
Pada tahun 1987 Sa’id Hawa terserang stroke hingga sebagian anggota tubuhnya lumpuh. Ia juga mengalami berbagai penyakit; tekanan darah, gula, ginjal dan sakit mata. Keadaan demikian membuat ia tidak dapat hadir bersama masyarakat lagi karena diopname. Pada bulan Desember tahun 1988 kondisinya tak kunjung membaik dan masih dirawat di rumah sakit. Tiga bulan kemudian tepatnya tanggal 9 Maret 1989 sang pejuang itu wafat di rumah sakit Amman, Yordania (Abdullah al – Aqil, 2003 : 409 ).

3.      Karya – karyanya
Diantara karya – karya Sa’id Hawwa yaitu :
1.      al – Asas fi at – Tafsir
2.      Tarbiyatuna ar – Ruhiyah
Pada awalnya buku ini diberi judul Tasawuf dalam Pergerakan Islam Modern, kemudian ketika akan diterbitkan diganti dengan Pendidikan Jiwa Muslim. 
3.      Al – Mustakhlash fi Tazkiyah al – Anfus
Pembahasan buku ini berkaitan dengan inti penyucian jiwa dan sebagai salah satu dari rangkaian dua buku lainnya.
4.      Ash – Shiddiqiena wa ar – Rabbaniyyina min Khilal an – Nushush wa Hikam Ibnu ‘Athaillah as- Sakandari
Ini merupakan buku ketiga dari tiga buku yang berbicara khusus tentang persoalan tasawuf dan tarekat. Pembahasan buku ketiga ini didasarkan kepada nash hadis Nabi dan buku hikam ( hikmah) Ibnu ‘Athaillah as – Sakandari.
5.      Ihya’ur Rabbaniyyah
6.      Ijazah Takhash-shush ad- Du’a
7.      Allah Jalla lah
8.      Al – Islam
9.      Ar – Rasul Saw
10.  al – Asas fi as- Sunnah
11.  Jaulat fi al – Fiqhaini al – Kabir wa al – Akbar wa Ushulihima
12.  Shina’ah asy – Syabbab
13.  Akhlaqiyyat wa Sulukiyyat fil Qarnil Khamis ‘Asyar al – Hijri
14.  Jundullah Takhthitan wa Tanzhiman
15.  Hadzihi Tajribati wa Hadzihi Syahadati

C. Mengkritisi Tafsir Sa’id Hawwa

1. Sistematika Penulisan dan Metode Penafsiran

            Kitab tafsir ini terdiri dari 11 ( sebelas ) jilid besar. Kitab tafsir yang dijadikan penelitian ini merupakan terbitan dari penerbit Darussalam, Mesir. Tahun terbit 2003 M / 1424 H dengan cetakan keenam. Dalam jilid pertama kitab tersebut dicantumkan pengantar penerbit oleh Abdul Qadir Mahmud al - Bukar yang terdiri dari dua halaman. Kemudian disusul pengantar penyusun ( al – Asas fi al – Manhaj ) tentang metode pembahasan mengenai uraian kitab tafsir yang digunakan oleh penulisnya. Masih dalam jilid satu dikemukakan  pengantar kitab tafsir al – Asas ( Mukaddimah al – Asas  fi at – Tafsir ) yang memberikan penjelasan tentang karakteristik kitab tafsir ini serta keistimewaannya dibandingkan kitab tafsir lain. 
            Tafsir ini disusun seperti kitab tafsir besar yang lain dengan menguraikan penafsiran secara mendalam dan rinci yang mencapai 11 jilid tebal. Penulisan kitab tafsir ini seperti diterangkan oleh Sa’id Hawwa dalam pendahuluan kitabnya yaitu ketika ia menjalani masa tahanan politik semasa pemerintahan Hafiz al – Asad dalam kurun waktu sekitar 1973 – 1978 ( Hawwa, Tafsir, 2003,Jilid I, h.21 ). Cara penyajian uraian seperti ini dikenal juga dalam dunia tafsir dengan metode tahlili. Sistematika penulisan kitab tafsir secara umum yaitu dalam setiap jilid Sa’id Hawwa selalu mengemukakan pendahuluan sebelum masuk dalam penafsiran surat – surat Alquran. Paparan menyangkut kategori surat sesuai yang dibagi menurut jumlah ayat oleh Sa’id Hawwa.  Setiap surat yang ditafsirkan terlebih dahulu pada awal surat dijelaskan munasabahnya dengan surat – surat lainnya. Biasanya dikutip dari penjelasan Sayyid Qutb dalam tafsir Fi Zhilalil Quran dan al – Alusi dalam tafsir Ruhul Ma’ani.
            Runtutan penafsiran disesuaikan dengan urutan surat – surat seperti yang terdapat dalam Mushaf.
Rangkaian metode penafsiran Sa’id Hawwa dapat  dirumuskan sebagai berikut  :
Pertama, menampilkan beberapa ayat sesuai kelompok munasabahnya.
            Beberapa ayat tersebut bisa tergabung dalam satu maqtha’ dengan beberapa faqrahnya. Pada setiap surat terlebih dahulu dijelaskan keberadaan surat tersebut baik menyangkut identifikasi surat, tema surat, hubungan dengan surat lain atau kandungan surat secara global. Biasanya disini ditampilkan riwayat bila menyangkut sebab turun dari suatu surat.
Kedua, Menafsirkan ayat.
Bentuk penafsiran yang dikemukakan Sa’id Hawwa mengenai ayat yang sudah disusun dalam kelompok ayat yaitu dengan menjelaskan makna secara umum atau memberikan pengertian secara global kemudian menerangkan pengertian teks ayat ( makna harfi ) dengan tinjauan bahasa serta uslub ayat. Dalam hal ini ia sering menggunakan rujukan dari kitab tafsir an – Nasafi dan Ibnu katsir juga tafsir Sayid Qutb dan al –Alusi. Dengan demikian makna harfi yang dijelaskan cukup panjang berbeda dengan tafsir Jalalain yang sangat singkat. Penjelasan makna umum dan makna harfi dengan terlebih dahulu mencantumkan ayat atau potongan ayat yang ditulis dalam kurung.
Ketiga, Menjelaskan hubungan susunan ayat ( Munasabah ).
            Disini Sa’id Hawwa mengkaji struktur ayat dalam surat. Misalnya hubungan dalam satu kelompok ayat seperti hubungan kesamaan tema dalam satu maqtha’, atau satu faqrah. Menerangkan hubungan antar faqrah atau antar maqtha’ bahkan dijelaskan hubungan dengan ayat lain pada surat yang berbeda.
Keempat, Menjelaskan hikmah ayat.
Bagian ini dikenal dalam rangkaian penafsirannya dengan  fawaid. Dalam poin ini ada juga dibahas tentang munasabah ayat khususnya hubungan suatu ayat dengan beberapa ayat lain atau dengan hadis Nabi. Poin ini merupakan penafsiran  yang lebih luas dan komprehensif oleh Sa’id Hawwa dengan memahami ayat berdasarkan konteks.
Demikian langkah dari metode penafsiran Sa’id Hawwa yang lebih banyak menyorot aspek munasabah dalam tafsirnya. Dua poin terakhir ini merupakan keunggulan dari tafsir Sa’id Hawwa yang membedakannya dengan mufasir lain baik dari sisi ide ataupun metode.

2. Orientasi Pemikiran Tafsirnya

a.       Pemikiran Kalam
Sehubungan dengan kebebasan manusia yang merupakan salah satu poin perdebatan aliran kalam dapat dilihat dalam penafsiran ayat 29 surat al-Kahfi.
وقل الحق من ربكم قمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إنا أعتدنا للظالمين نارا أحاط بهم سرادقها...
Katakanlah,” Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu ; maka siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman dan siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir. Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang – orang zalim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka.

Sa’id Hawwa menjelaskan bahwa manusia bebas memilih apa yang dikehendaki untuk dirinya, apa mau mengambil jalan menuju keselamatan atau memilih jalan menuju kehancuran. Kemudian Allah kemukakan ancaman bagi orang yang memilih kekufuran yaitu neraka dengan api yang bergejolak ( Hawwa, Tafsir, 2003, Jilid VI, h. 3175, X, h. 5951 ). Penafsiran Sa’id Hawwa terkait ayat diatas terlihat, manusialah yang menentukan pilihan hidupnya, bebas menggunakan daya yang ada dalam dirinya. Kalau begitu manusia juga siap dengan segala akibat yang ditimbulkan seperti mendapat pahala dari pilihan baiknya dan menerima hukuman atau azab dari pilihan salah yang diambilnya. Kebebasan memilih oleh manusia muncul dari diri sendiri, bukan Tuhan yang mengarahkan. Pandangan Sa’id Hawwa diatas ada kesejalanan dengan paham Mu’tazilah bahwa perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia sendiri yang bebas menentukan pilihan. Walaupun penafsiran Sa’id Hawwa tentang ayat tersebut cenderung ke aliran Mu’tazilah namun ia tidak menyebut bahwa ia mengikuti Mu’tazilah. Artinya ia tidak mempersoalkan antara Mu’tazilah atau Asy’ariyah tentang penafsiran ayat – ayat kalam. Sama halnya ketika ia menafsirkan ayat 96 ash- Shaffat ( 37 ) tentang perbuatan manusia juga.
والله خلقكم وما تعملون.
Dan Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.

Sa’id Hawwa menjelaskan, Allah sebagai pencipta ( Khalik ) mu dan pencipta perbuatan – perbuatanmu ( a’malu kum ), maka mengapa kamu menyembah juga selainNya? ( Hawwa, 2003, Jilid VIII, h.4714 ). Bila diperhatikan ada kesan Sa’id Hawwa menilai perbuatan manusia diciptakan oleh Allah seperti yang pernah dikemukakan oleh aliran Asy’ariyah bahwa perbuatan manusia diwujudkan oleh Tuhan.  (Al –Ibanah h. 48 ). Berbeda sekali dengan aliran Qadariyah / Mu’tazilah  yang memandang perbuatan manusia diwujudkan oleh daya yang ada pada mereka sendiri bukan diwujudkan oleh Tuhan.( al-Ibanah ).
Terkait penafsiran Sa’id Hawwa terhadap ayat diatas yang cenderung ke paham Asy’ariyah, Sa’id Hawwa tidak menyebutkan bahwa pendapatnya mengikuti Asy’ariyah atau mencela aliran Mu’tazilah. Ini merupakan indikator bahwa Sa’id Hawwa tidak tertarik memperdebatkan persoalan kalam sebagaimana yang populer terjadi diantara mutakallimin. Melalui penafsiran – penafsiran ayat kalam diatas terlihat Sa’id Hawwa tidak menegaskan bahwa ia penganut salah satu aliran kalam. Memperhatikan rujukan tafsirnya yang sering mengutip an – Nasafi seorang pengikut Asy’ariyah bisa digambarkan Sa’id Hawwa bisa menerima paham Asy’ariyah walaupun ia tidak menyebut aliran tersebut dalam menafsirkan ayat.
Indikator lain yang mendukung pernyataan ini dapat ditelusuri penafsiran Sa’id Hawwa terhadap surat al  Qiyamah ( 75 ) : 22-23.
وجوه يومئذ ناضرة . إلى ربها ناظرة .    
Wajah – wajah orang mukmin pada hari itu berseri –seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.

Wajah orang mukmin senang karena memperoleh nikmat yaitu melihat Tuhan dengan mata kepala sendiri. Ia memperkuat pendapatnya dengan mengutip tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan nazhirah, ( yaitu tarahu ‘iyananتراه عيانا ) melihat dengan mata sendiri. Disamping itu Ibnu Katsir mengungkapkan sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari mengatakan Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu dengan mata sendiri ( Hawwa, Tafsir, 2003, Jilid XI, h. 6268 dan 6276 ). Penafsiran Sa’id Hawwa tentang ayat melihat Tuhan sejalan dengan yang dipegang oleh paham Asy’ariyah bahwa setiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat, Tuhan berwujud karena itu dapat dilihat. ( Ibanah . h. 76 ).
Pandangan Sa’id Hawwa dalam hal ini sangat berbeda dengan yang dipegang oleh aliran Mu’tazilah yang mengatakan Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Surat al –Qiyamah diatas mengenai kata nazhirah menurut Mu’tazilah bermakna menunggu. Jadi orang mukmin menunggu pahala dari Tuhannya. Alasan lain adalah Tuhan tidak mengambil tempat karena itu tidak bisa dilihat sebab yang dapat dilihat hanyalah sesuatu yang mengambil tempat. Pendapat Mu’tazilah ini sejalan dengan paham mereka yang meniadakan sifat tajassum ( antropomorfisme ) pada Tuhan. Setentangan sifat Tuhan – berbeda dengan pandangan diluar Mu’tazilah – bagi mereka ( aliran mu’tazilah ), Tuhan mengetahui dengan pengetahuan sedangkan pengetahuan itu adalah zatNya sendiri. [1]
Walaupun berbeda pemahaman dengan Mu’tazilah, Sa’id Hawwa dalam tafsirnya tidak menyebut paham Mu’tazilah atau Asy’ariyah yang menjadi dasar pemikirannya. Namun demikian dari penafsirannya terkait ayat diatas membuktikan secara implisit Sa’id Hawwa bukanlah pengikut aliran Mu’tazilah. Penafsirannya menyangkut ayat – ayat yang bernuansa kalam tidak pula secara tegas ia mengikuti pandangan Asy’ariyah . Artinya Sa’id Hawwa tidak terikat dengan aliran – aliran  kalam yang berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa Sa’id Hawwa tidak memberikan perhatian besar kepada wacana pemikiran kalam dalam tafsirnya. 

b.      Pemikiran Fiqh
Berkenaan dengan pemikiran fiqh Sa’id Hawwa dalam tafsirnya seperti dijelaskan diawal bahwa ia tidak terlalu mempersoalkan perbedaan mazhab baik hukum atau teologi / kalam. Terkait ayat hukum misalnya tentang ayat bersuci, QS. An – Nisa’ ( 4 ) : 43.
 ... وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أولامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيداطيبا...
Dan jika kamu sakit, keadaan musafir atau selesai buang hajat atau lamastumun nisa’, kemudian kamu tidak menjumpai air maka bertayammumlah dengan tanah yang baik.

Menurut penafsiran Sa’id Hawwa kata lamastumun nisa’ menunjukkan arti bersetubuh. Ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan para mufasir, sebagaimana Ibnu Katsir juga berpendapat demikian. Mengenai tafsiran tentang tanah yang baik, disini Sa’id Hawwa menjelaskan pendapat dari berbagai ulama mazhab seperti menurut Imam Malik, Sha’idan termasuk  tanah padat, pasir, pohon, batu, tumbuhan ( nabat ) artinya secara umum benda yang berada dimuka bumi. Hampir sama dengan itu pendapat mazhab Hanifah, termasuk jenis tanah seperti pasir, kapur ( tanah kapur ).Sedangkan menurut mazhab Syafe’i dan Hanbali yang dimaksud sha’idan adalah tanah saja ( Hawwa, Tafsir, 2003, Jilid II, h. 1076 dan 1078 ).  Disini Sa’id Hawwa tidak menegaskan, Ia mengikuti salah satu pendapat tersebut. Namun yang jelas ia terbuka dalam masalah perbedaan mazhab dan tidak terlalu mempersoalkan perbedaan – perbedaan dalam pemikiran keislaman baik yang terlihat juga ketika menyikapi persoalan kalam. Sa’id Hawwa tampaknya mengemukakan dalam penafsirannya pandangan – pandangan yang menurutnya sesuai dengan pemikirannya, tidak harus terikat dengan salah satu mazhab pemikiran apalagi fanatik dengan kelompok tertentu.
Melihat cara Sa’id Hawwa mengungkapkan pendapat dari berbagai aliran, seperti persoalan kalam Sa’id Hawwa tidak menyebut nama aliran kalam ketika menafsirkan ayat yang terkait masalah tersebut. Sementara itu menyangkut persoalan fiqh, dikemukakan berbagai pandangan serta nama mazhabnya. Dengan demikian bertambah jelas bahwa Sa’id Hawwa tidak mau berpolemik masalah perbedaan mazhab. Apalagi ia sering mengemukakan perbedaan pandangan mazhab tersebut dengan menyandarkan kepada berbagai kitab tafsir sebagai rujukan utama yaitu Ibnu Katsir dan an – Nasafi. Hal ini menunjukkan ia sepaham dengan aliran yang dianut oleh kedua mufasir tersebut. Suatu pendapat yang dikemukakan oleh seseorang dalam uraiannya dan ia tidak ada persoalan berarti ia setuju dengan pendapat tersebut.
Contoh lain, menyangkut persoalan haid sebagaimana tercantum dalam surat al- Baqarah ( 2 ) ; 222.
 ... ولاتقربوا هن حتى يَطْهُرْن فإذا تَطهّرن فأتوهن ...
Janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka itu suci, bila mereka telah suci maka campurilah …

Ayat diatas berkaitan dengan waktu suci, ditafsirkan oleh Sa’id Hawwa bahwa bolehnya mencampuri isteri yaitu bila selesainya haid dan telah mandi wajib atau bertayammum bila ada uzur. Disamping itu, ia juga mengemukakan pendapat Ibnu Katsir dimana ulama sepakat kecuali Abu Hanifah bahwa wanita yang sudah selesai haid tidak halal dicampuri sebelum mensucikan diri dengan mandi. Adapun menurut Abu Hanifah bila wanita telah selesai haid sudah boleh dicampuri. Bagi wanita yang masa haidnya 10 hari bila berhenti haidnya kurang dari 10 hari diwajibkan mandi sebelum bercampur.  Berdasarkan keterangan Sa’id Hawwa terkait ayat tersebut dalam tafsirnya terlihat berbagai pendapat di kemukakannya dan ia tidak secara tegas menyatakan ikut pada mazhab tertentu. Kalau diperhatikan penafsirannya mengenai kata  yath-hurna ia sependapat dengan Ibnu Katsir. 
Pada penjelasan berikutnya, ditambahkan oleh Sa’id Hawwa untuk membuktikan wanita betul – betul selesai haidnya yaitu dengan cara memasukkan kapas kedalam farajnya. Jika kapas tersebut dikeluarkan dari faraj masih bersih tanpa ada noda berarti suci. Penjelasan Sa’id Hawwa ini mengulas dari pandangan Abu Hanifah tentang berhentinya haid sebagai tanda suci. Disini sangat nyata bahwa Sa’id Hawwa tidak fanatik kepada mazhab fiqh tertentu walaupun dari penafsirannya boleh dikatakan cenderung ke mazhab Hanafi. Bila dikatakan Sa’id Hawwa terpengaruh dengan mazhab Hanafi sebagaimana terlihat dalam tafsirnya sangat mungkin terjadi karena an – Nasafi sebagai rujukan pokok dalam tafsirnya merupakan pengikut mazhab Hanafi dan berpaham teologi Asy’ariyah.    
Kalau dalam masalah kalam dan fiqh Sa’id Hawa bersikap terbuka dengan tidak tegas memihak kepada suatu aliran dalam tafsirnya. Sehubungan dengan masalah tasawuf apakah Sa’id Hawwa memiliki sikap yang sama, tentu harus dikaji lebih mendalam lagi.

c. Pemikiran Tasawuf
Pandangan tasawuf Sa’id Hawa dapat ditelusuri lebih jauh dalam penafsirannya terkait dengan ayat – ayat tasawuf. Disini juga akan terlihat kerangka metodologi tafsir yang digunakannya. Sehubungan dengan penafsiran tasawufnya, Sa’id Hawa sangat dalam pandangannya ketika memahami ayat – ayat tasawuf secara implisit apalagi yang jelas ( eksplisit ) bermakna tasawuf.
            Ketika menjelaskan kedudukan Maryam yang sering mengalami peristiwa luar biasa, salah satunya ketika didatangi oleh malaikat Jibril yang terungkap dalam Ali Imran ( 3 ) : 42.
وإذ قالت الملائكه يا مريم إن الله اصطفاك وطهرك واصطفاك على نساءالعالمين.  
Artinya; Dan ingatlah, ketika malaikat berkata, “ Hai Maryam sesungguhnya Allah telah memilih dan mensucikanmu dan melebihkan kamu diantara wanita lain di dunia.

Sa’id Hawa tetap berkeyakinan dengan berpegang pada dasar Alquran bahwa Maryam hanyalah seorang wanita shalihah dan shiddiqiyah dan tidak mencapai predikat sebagai Nabi apalagi didukung keterangan dalam surat Yusuf ( 12 ) : 109, “ Kami tidak mengutus seorangpun sebagai Nabi atau Rasul melainkan kepada laki – laki yang diberikan wahyu”. Dalam surat al-Maidah( 5 ) : 75
مالمسيح ابن مريم إلا رسول قد خلت من قبله الرسل وأمه صديقة.
dijelaskan bahwa Isa AS adalah seorang Rasul seperti Rasul – rasul terdahulu sedangkan ibunya adalah seorang wanita Shiddiqah ( Hawwa, Tafsir, 2003, Jilid V, h. 2713 - 2714, Hawwa, Tarbiyatuna, 2007, h. 163).
            Keistimewaan yang dialami Maryam memunculkan beberapa pemahaman, menurut Sa’id Hawa bahwa jalan untuk berdialog ( mukhatabah ) dengan malaikat dapat dialami oleh selain Nabi. Seseorang dapat mencapai kasyf ( mukasyafah ) dengan memperoleh pengetahuan dari alam ghaib sebagai suatu keramat ( pintu karamat ) yang dibukakan Allah. Hal ini merupakan dalil bahwa kemuliaan ( karamat ) dapat terjadi pada manusia selain Nabi / Rasul. Siapa yang sering melakukan amalan – amalan sunat dengan ikhlas maka Allah akan membukakan pintu baginya ( In sya Allah ) ( Hawwa, Tafsir, 2003, Jilid II, h. 765-766 ).
            Untuk memperkuat keterangan ini Sa’id Hawa mengemukakan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim. Nabi pernah memberitahukan kepada Abu Bakar dan Hanzhalah bahwa kalau kamu senantiasa mencontoh dengan mengikuti aku dan melakukan zikir niscaya kamu dapat bersalaman dengan malaikat ( Hawwa, Tafsir, 2003, Jilid II, h. 766 ). Bersalaman yang dinyatakan Nabi Saw diatas menandakan bahwa untuk berhubungan langsung dengan malaikat dapat terwujud dengan memperbanyak zikir terutama untuk menjaga kekosongan hati dari mengingat Allah. Ini merupakan indikasi bahwa malaikat dapat dijumpai dan wujudnya dapat dirasakan.
Sisi tasawufnya, Sa’id Hawa menggali makna tasawuf misal diatas yaitu tentang kasyf salah satu ajaran tasawuf. Kedalaman pikiran tasawufnya dalam menafsirkan Alquran terlihat ketika pengidentifikasian yaitu menghubungkan ayat – ayat yang mengandung kesamaan makna kedua memahami aspek tasawuf tentang ayat tersebut.
Ajaran tasawuf yang sempat juga dikritik oleh Sa’id Hawwa mengenai konsep ittihad tasawuf falsafi yang menyatakan kedekatan Tuhan dengan manusia sampai membentuk kesatuan. Berdasarkan ini mereka sufi falsafi memperkuat keyakinan mereka akan konsep ittihad sebagai hal dalam jalan tasawuf. Ayat yang dijadikan dasar adalah surat Qaf ( 50 ) : 16.
ولقدخلقنا الإنسان و نعلم ما توسوس به نفسه ونحن أقرب إليه من حبل الوريد.
Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.

Ibnu Arabi, misalnya memaknainya bahwa tidak ada jarak antara juzu dengan kulli. Hubungan antara juzu dengan sesuatu yang disaksikan sehingga membentuk bergabungnya dua unsur yang mulia dalam Ittihad hakiki ( Ibnu Arabi, Tafsir, 2006, Jilid II, h. 263 ).
Menurut Sa’id Hawwa, ketika menafsirkan ayat itu dinyatakan bahwa yang dekat dengan manusia dalam ayat itu adalah malaikat bukan Allah seperti yang dipahami oleh penganut konsep ittihad atau hulul. Kalau Allah yang dimaksud seharusnya secara tegas dinyatakan dengan lafaz ana ( aku ); أنا أقرب إليه من حبل الوريد  ( Hawwa, Tafsir, 2003, Jilid IX, h. 5468 ). Dalam ayat disebutkan dengan lafaz nahnu maka untuk memaknainya dipahami dulu pengertian lahirnya. Secara lahiriyah makna nahnu umumnya menyangkut berbagai pihak, dalam hal ini pengertian nahnu tidak mutlak ditujukan kepada Allah.
Ditambahkan oleh Sa’id Hawwa, posisi malaikat atau pihak lain yang dimaksud ayat yaitu dengan melihat korelasi pada ayat lain. Pada ayat 18 surat Qaf dijelaskan bahwa ada dua malaikat yang mengawasi manusia tentu merekalah yang selalu “ menempel “ dimanapun berada. Ayat lain yang memperkuat alasannya yaitu tentang pemeliharaan Alquran.
إنا نحن نزلنااذكروإناله لحافظون
Kata nahnu dalam ayat ini ditafsirkan bahwa ada keterlibatan pihak lain yang ikut menjaga Alquran disamping Allah sendiri. Kami yang menurunkan Zikra; malaikat yang mewahyukan Alquran kepada Nabi, kami juga akan menjaganya. Dengan demikian bisa di bandingkan pemakaian ungkapannya ( Hawwa, Tafsir, 2003, Jilid IX, h. 5468 ). Menurut para ulama yang ikut memelihara keberadaan Alquran termasuk malaikat dan para penghafal Alquran.
            Tampak disini, penafsiran Sa’id Hawwa terhadap ayat tasawuf masih memegang makna zahir ayat disamping mencari makna isyarinya. Dengan begitu, corak tasawuf Sa’id Hawwa bisa dikatakan berbeda atau malah menyangkal pendapat kelompok para sufi falsafi. Pemahaman Sa’id Hawwa ini menggunakan takwil dekat yang masih mempertahankan makna zahir ayat. Kalau bagi kelompok tasawuf falsafi menakwilkan ayat dengan takwil jauh dibalik pengertian lafaz.
            Dari penafsiran Sa’id Hawwa diatas dapat ditegaskan bahwa Ia tidak termasuk pengikut aliran falsafi dalam paham tasawuf. Akan tetapi ia mengikuti aliran tasawuf amali yang dalam kategori penafsiran disebut dengan tafsir sufi isyari dimana menafsirkan ayat dengan tetap memperhatikan makna zahir disamping makna isyari.
 
D. Penutup

Orientasi pemikiran Sa’id Hawwa dalam tafsirnya yang kita bahas diatas  menyangkut tiga hal yaitu orientasi kalam, fiqh dan tasawuf. Tiga aspek kajian keislaman ini sering mengundang perdebatan diantara ulama dan menimbulkan berbagai aliran didalamnya karena perbedaan dalam menafsirkan ayat sebagai dasar pemikirannya.
Sa’id Hawwa dalam tafsirnya terkait dengan tiga aspek diatas sebagaimana pembahasan diatas tidak mempersoalkan berbagai pandangan yang kontroversi. Mengenai ayat – ayat kalam misalnya, Sa’id Hawwa menafsirkan ayat tersebut berlandaskan pada keilmuan tafsir, ia tidak menampakkan kecenderungan yang nyata pada salah satu aliran kalam. Ketika ia menafsirkan ayat sejalan dengan pandangan Mu’tazilah, ia tidak mengatakan bahwa pendapatnya mengikuti Mu’tazilah. Begitu pula sebaliknya bila ia sepaham dengan pandangan Asy’ariyah ia tidak mengatakan bahwa menolak pendapat Mu’tazilah. Hanya saja secara implisit Sa’id Hawwa banyak kesamaan dengan paham Asy’ariyah.
Begitupula dalam hal fiqh dan tasawuf, Sa’id Hawwa menerima pandangan yang sejalan dengan pemikirannya ketika menafsirkan ayat – ayat terkait. Ia tidak terpengaruh kepada satu pandangan dalam mazhab fiqh dan corak tasawuf. Sa’id Hawwa mengemukakan berbagai pendapat sebagai perbandingan, terkadang ia secara implisit mengulas pandangan yang sama idenya dengan pendapatnya. Kalaupun ia tidak sepaham dengan satu pendapat, ia tidak menyebut ia tidak setuju dengan aliran tertentu tapi ada beberapa pendapatnya yang tidak ia ikuti.
Kesimpulan kita mengenai orientasi Sa’id Hawwa yaitu tidak berpegang pada satu aliran dan tidak mau berdebat masalah perbedaan aliran. Sa’id Hawwa menafsirkan ayat berpegang pada makna zahir ayatnya, tafsir bahasanya kemudian ditafsirkan secara luas dengan tidak terikat denga pandangan tertentu.

KEPUSTAKAAN
Alquran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI

al – Aqil, Al – Mustasyar Abdullah., Mereka yang telah Pergi; Tokoh – tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer, Jakarta : al - I’tisham Cahaya Umat, 2003

David Commins dalam John L. Esposito, Dunia Islam Modern – Ensiklopedi Oxford ( Terj ) ( Bandung : Mizan ), 2002, Jilid 5, Cet. Ke – 2

Iyazi, Muhammad Ali., al – Mufassirun : Hayatuhum wa Manhajuhum, Teheran : Wizarah Tsaqafah Islamiyah, 1414 H / 1994 M

Machasin, al- Qadhi Abdul Jabbar : Mutasyabih Alquran – Dalih Rasionalitas Alquran, Yogyakarta : LkiS, 2000, Cet. Ke – 1, h. 143 – 144.

Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam ( Pemikiran dan Gerakan ) ( Jakarta : Bulan Bintang, 1986 ), Cet. Ke – 4

Sa’id Hawa , al – Asas fi at – Tafsir,  Kairo : Darussalam, 1424 H / 2003 M, Cet. Ke – 6

_______, Tarbiyatuna ar – Ruhiyah, Kairo : Darussalam, 1428 H / 2007 M, Cet. Ke – 9
_______, al – Asas fi as – Sunnah, Kairo : Darussalam, 1995 / 1416, Cet. Ke – 3, jilid I
_______, al – Islam, Kairo : Maktabah Wahbah, 2004 / 1425, Cet. Ke - 2
_______, Ar  Rasul, Kairo : Maktabah Wahbah,  2006
______, ash – Shiddiqiena wa ar Rabbaniyyina min Khilal an – Nushush wa Hikam Ibnu ‘Athaillah as- Sakandari, Kairo : Darussalam, 1999 / 1419, Cet. Ke – 4

ash – Shabuni, M. Ali, Tafsir Ayat al – Ahkam, juz I, h. 301 .
Zaeni, Hasan, Tafsir tematik ayat – ayat kalam – tafsir al- Maraghi, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1997, Cet. Ke – h. 144 dan 155.

____________





Analisis Orientasi Penafsiran Sa’id Hawwa
A.  Pendahuluan
B.  Latar Belakang Historis Kehidupan Sa’id Hawwa
1. Seting Sejarah Syria Abad Modern
2. Deskripsi Riwayat Hidup Sa’id Hawwa
3. Karya - karyanya
C. Mengkritisi Tafsir Sa’id Hawwa

1.   Sistematika Penulisan dan Metode Penafsiran

2.   Orientasi Pemikiran Tafsirnya

a.    Pemikiran Kalam
b.    Pemikiran Fiqh
c.    Pemikiran Tasawuf
D.    Penutup
Kepustakaan




[1] Bagi Asy’ariyah sifat Tuhan bukanlah Tuhan tapi tidak pula lain dari Tuhan. Sifat qudrat, iradat, sama’, bashar dan seterusnya azali dan berdiri pada zat Allah. Senada dengan ini, menurut al – Ghazali sifat Tuhan tidak sama dengan esensi Tuhan , lain dari esensi Tuhan tapi berwujud dalam esensi Tuhan.  Lihat; Hasan Zaeni, Tafsir tematik ayat – ayat kalam – tafsir al- Maraghi, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1997, Cet. Ke – h. 144 dan 155. Lihat juga ; Machasin, al- Qadhi Abdul Jabbar : Mutasyabih Alquran – Dalih Rasionalitas Alquran, Yogyakarta : LkiS, 2000, Cet. Ke – 1, h. 143 – 144. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar