Selasa, 13 Desember 2011

Arah Baru Studi Tafsir di IAIN


Arah Baru Studi Tafsir di IAIN
( Menuju Pencapaian Keahlian )
By. Septiawadi

Abstrak

In generally, study tafsir in Islamic institute make reference to the curriculum arranged by Religion Department. Curriculum arranging in it method of instruction and Iesson items have to can be adapted for growth of science and change the education. IAIN Raden Intan especially have to immediately look for the new pattern to face  the change. This article try to pour the idea about progressive tafsir study in line with demand of science and education. As study base floodlight the existence of tafsir and its instruction applying is later, then looked for a new pattern to a period to will come the. This New pattern supply the student with the tafsir knowledge supporting science of each prodi.  

Kata Kunci; Pengajaran Tafsir / Tafsir Instruction  
 

Pengantar Kalam

Salah satu prinsip yang dianut oleh ilmuwan ( ulama ) dalam mengikuti perkembangan zaman adalah mempunyai pandangan dengan orientasi masa depan. Sikap seperti ini menuntut kreatifitas dan imaginasi berpikir yang  tinggi dalam merespon perubahan masyarakat dan senantiasa menjunjung nilai ilmiah. Sebagai tuntutan ilmiah dan realitas di lapangan para pakar perguruan tinggi agama dalam hal ini dibawah koordinasi Departemen Agama memikirkan kembali untuk membuka program studi umum[1] ( dulu dikenal Tadris ). Melihat program studi yang cepat berkembang selaras dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang ingin menimba ilmu agama sebagai dasar keagamaan sekaligus mempunyai keahlian bidang  “umum “ maka IAIN sudah sepatutnya dengan cepat merespon hal demikian serta memacu diri mempersiapkan perangkatnya. Gayung bersambut, kata berjawab sudah terlihat di beberapa PTAIN, ada yang sudah berganti baju ada pula yang masih dengan baju lama. 
Khusus IAIN Raden Intan sudah menampakkan respon cukup baik dan selalu berbenah diri untuk menuju perguruan tinggi yang universal.
Bagian yang tidak kalah penting selain membuka program studi baru yaitu meninjau format bathin mata kuliah institut diantaranya mata kuliah tafsir. Tafsir merupakan mata kuliah khas institut sama halnya dengan mata kuliah Bahasa Arab yang perlu mendapat perhatian demi untuk meningkatkan mutu mata kuliah tersebut. Dalam hal tafsir, sebagai mata kuliah yang disajikan pada setiap jurusan wajar ditinjau kembali diantaranya menyangkut tenaga pengajar, format, muatan, silabi, referensi utama dan metode pengajaran. Selain itu fokus penafsiran serta arah penafsiran tidak luput dari pembicaraan kita.
Keinginan untuk mencari arah baru tentang keberadaan mata kuliah tafsir di PTAIN khususnya di IAIN Raden Intan tampaknya tidak bisa ditunda lagi. Banyak hal yang menjadi sorotan sebetulnya selama ini, seperti silabi, referensi utama serta kompetensi tenaga pengajar. Apalagi IAIN sudah menambah program studi baru yang tentunya bagi mahasiswa minimal satu semester harus menempuh mata kuliah tafsir sesuai keahliannya. Contohnya, di fakultas Ushuluddin, ada mata kuliah tafsir yang menitik beratkan pembahasan bidang politik, sosial, falsafat, pluralisme agama dan seterusnya. Mencari tenaga pengampu mata kuliah tersebut muncul ganjalan umpamanya dosen yang bidang tafsir ataukah yang bidang politik atau falsafat. Begitu pula pada fakultas lainnya yang harus menyajikan mata kuliah tafsir sejalan dengan bidang ilmu dalam kurikulumnya. 
Menghadapi kondisi diatas maka perlu dirumuskan kembali keberadaan dan tujuan serta pola mata kuliah tafsir sebagai mata kuliah institut / fakultas. Dalam Tulisan ini penulis mencoba merambah keberadaan mata kuliah tafsir untuk kemudian ditawarkan gagasan menuju arah baru eksistensi mata kuliah tafsir.

Metode Penelitian
Wujud penelitian ini mengkaji persoalan berdasarkan kurikulum yang ada pada buku pedoman akademik untuk dideskripsikan maka jenis penelitian ini pada dasarnya studi kepustakaan dengan metode kualitatif. Selain itu melalui observasi dan pengalaman mengajar menambah data dalam penelitian ini.
Analisis data berdasarkan kajian terhadap keberadaan mata kuliah tafsir dalam bagian kurikulum dan juga dengan mengkaji metode pengajarannya. Dengan analisis kajian demikian penelitian ini bertujuan menghasilkan suatu model baru dalam hal studi tafsir di IAIN.    

Hasil dan Pembahasan
Bab : I. Problematika Studi Tafsir
A.    Tafsir Sebagai Mata Kuliah Institut / Fakultas
Lembaga pendidikan tinggi Islam seperti IAIN menjadikan mata kuliah tafsir sebagai mata kuliah utama yang harus diikuti oleh semua mahasiswa dari berbagai program studi. Mata kuliah tafsir sebagai bagian dari kurikulum ada yang diberi kode sebagai mata kuliah institut atau ada juga yang dimasukkan dalam kelompok mata kuliah fakultas. Berdasarkan kurikulum IAIN Raden Intan yang disempurnakan tahun 1998 disebutkan bahwa mata kuliah tafsir sebagai mata kuliah dasar keahlian yang termasuk kedalam rumpun mata kuliah fakultas. Secara umum mata kuliah tafsir hanya disajikan satu semester  atau satu kali selama program kuliah.[2] Keberadaan mata kuliah ini dibanding tahun – tahun sebelumnya tampaknya sudah mengalami dinamika menuju perubahan ke arah yang lebih efisien tapi sangat lamban dan belum menyentuh persoalan.
Sementara itu pada kurikulum tahun 2000,[3] ada perubahan lagi seperti menyangkut, pergantian mata kuliah, masa penyajian ( distribusi ) serta pertukaran letak mata kuliah. Berdasarkan perbandingan kurikulum tahun 1998 dan 2000 ada pengembangan mata kuliah tafsir pada jurusan – jurusan tertentu seperti Perbandingan Agama dengan mata kuliah Nushush Quraniyah.[4] Sedangkan pada jurusan tafsir hadis terjadi perubahan dengan menghilangkan mata kuliah tafsir maudhu’i Indonesia, tafsir ayat – ayat kauniyah dan penambahan mata kuliah yaitu orientalisme, madzhab tafsir dan takhrij – tahkik hadis. Disamping itu ada penggantian mata kuliah studi naskah tafsir dan studi naskah hadis menjadi bahtsul kutub tafsir dan bahtsul kutub hadis.[5] Bila diperhatikan antara perubahan tersebut sudah menampakkan keinginan mempertajam dan mengembangkan mata kuliah tafsir walaupun belum signifikan karena belum didukung oleh perangkat lain seperti metodologi atau tenaga pengajar.
Perkembangan tafsir berikutnya tampak pada kurikulum tahun 2003/2004 seperti terlihat ada mata kuliah tafsir tarbawi, tafsir ayat – ayat dakwah, tafsir sosial politik, tasawuf Qurani, kemudian penambahan satu semester mata kuliah ilmu quran dan ilmu hadis pada fakultas Syari’ah. Perubahan cukup berarti tampak pada jurusan tafsir hadis, dengan pengembangan mata kuliah ilmu Quran dan ilmu hadis serta bidang tafsir juga. Perubahan ini terlihat boros dan terlalu banyak mata kuliah baru dan juga ada kesan tumpang tindih.[6] Pengembangan mata kuliah tafsir dan mata kuliah hadis pada jurusan tafsir hadis seperti yang terdapat pada kurikulum diatas, tidak bisa dibiarkan pula. Niat mempertajam kompetensi barangkali berobah jadi mendatar lagi.
Perubahan untuk menuju peningkatan wajar – wajar saja dipikirkan dan dilakukan. Dan memang kita sudah melakukan diskusi beberapa bulan lalu untuk mengevaluasi kurikulum IAIN khususnya jurusan tafsir hadis. Walaupun yang dibahas masalah tafsir hadis namun implikasinya juga merambah ke Institut sebab fakultas lain tidak dapat lepas dari mata kuliah tafsir dan hadis, seperti mata kuliah hadis tematik, tafsir tematik, ilmu hadis dan ilmu quran. Sebagaimana diawal dijelaskan bahwa mata kuliah tafsir khususnya adalah mata kuliah dasar di Institut. Karena itu mata kuliah tafsir perlu dikembangkan dari berbagai sisinya.    

B. Problem Pola Mata Kuliah Tafsir 
Poin terdahulu kita sudah membicarakan kondisi mata kuliah tafsir yang terlihat selama ini khususnya kedudukan sebagai mata kuliah dasar semua jurusan. Kondisi yang penulis amati sekarang terkait dengan format mata kuliah tafsir secara umum, paling tidak ada dua macam formatnya pertama, menyajikan tafsir 1 dan 2 setiap jurusan. Kedua, cukup hanya menawarkan tafsir satu semester saja.
Penyajian dengan format pertama yaitu pada tafsir satu ( I ) atau tafsir umum, materi dan semangatnya hampir sama semua jurusan yaitu materi dengan pendekatan semi maudhu’i. Ini sebagai pengenalan dalam membahas tafsir terhadap ayat – ayat yang sudah ditetapkan. Problemnya ada penambahan beban SKS karena mata kuliah tafsir juga akan disajikan pada semester berikut sebagai mata kuliah konsenterasi. Ini diluar jurusan tafsir hadis, sebab pada jurusan tafsir hadis memang sangat diperlukan tafsir I ini sebagai pengantar bahasan tafsir dan mereka tidak ada tafsir yang dikenal sebagai konsenterasi. Karena pada semester – semester berikutnya banyak mata kuliah tentang studi tafsir. Sedangkan tafsir dua ( II ) materinya disesuaikan dengan bidang ilmu tertentu. Misalnya tafsir ayat – ayat tasawuf ( tafsir akidah ), tafsir tarbawi, tafsir falsafi dan seterusnya.
Problem tafsir II, menyangkut tenaga pengajar. Satu sisi harus menguasai ilmu tafsir dan juga menguasai bidang terkait dengan keilmuan tersebut. Bila mengabaikan satu sisi maka hasilnya akan timpang. Menyiapkan tenaga pengajar yang dianggap mampu menguasai dua aspek tersebut tidaklah mudah. Tapi tenaga tersebut harus disediakan dalam rangka menggali aspek tafsir yang berhubungan dengan berbagai bidang keilmuan. 
Selanjutnya penyajian dengan format kedua, mata kuliah tafsir disajikan hanya sekali dan langsung disesuaikan dengan bidang keilmuan tertentu. Problemnya sama dengan tafsir dua ( II ) diatas yaitu tentang kompetensi tenaga pengajar disamping itu juga sistem pengajaran lain, perlu perhatian diantaranya terkait tujuan mata kuliah dan pemilihan materi tafsir serta silabusnya. Terkait dengan silabus, agar tidak ada pengulangan atau tumpang tindih dengan mata kuliah lain, seperti tafsir ahkam dengan fiqh muamalat, tafsir tarbawi dengan ilmu pendidikan Islam danseterusnya.
Dengan demikian ada 2 format penawaran mata kuliah tafsir. Alternatif pertama dipertahankan berarti mahasiswa diberi pengenalan terlebih dahulu sebelum masuk ke tafsir konsenterasi. Alternatif kedua yang dijalankan maka mahasiswa harus siap menghadapi serta memahami mata kuliah tafsir sesuai konsenterasinya tanpa mengikuti pengantar bahasan tafsir.
  
C. Problem Pengajaran Tafsir 
Berkenaan dengan pengajaran tafsir ada beberapa hal yang menjadi problematika yang perlu disorot seperti materi dan tenaga pengajar. Problemnya bahasan tafsir yang sangat dangkal, datar. Kesan yang dirasa selama ini pengajaran tafsir seperti memberi ceramah dimasjid. Faktornya bisa referensi sulit ditemukan atau dipahami bisa juga mahasiswa yang tidak gigih. Pada tahap ini keberadaan tafsir sebagai mata kuliah, sistemnya hanya menjelaskan maksud ayat atau menerangkan berdasarkan kitab tafsir yang dipilih. Tenaga pengajar cukup menjelaskan maksud tekstual ayat kalaupun ada uraian yang agak panjang cukup menyandarkan kepada dua atau tiga kitab tafsir.
Realitas perkuliahan biasanya jarang ( bila enggan mengatakan tidak ) menyinggung konsep ilmu Quran. Dalam pembahasan sulit ditemukan adanya pemahaman atau penjelasan tafsir dengan tinjauan serta menggali aspek ilmu Qurannya.
Ada dua kemungkinan yang menimbulkan kendala, pertama mahasiswa belum mendapatkan pengantar ulumul Quran atau disajikan bersamaan dengan tafsir itu sendiri. :Karenanya mahasiswa belum siap menerima pembelajaran tafsir seperti demikian. Dosen yang mampu menjelaskan boleh jadi tidak matching dengan keadaan mahasiswa karena mereka belum mendapatkan materi ulumul Quran. Kedua, dosen yang mengampu mata kuliah tersebut bukan berlatar belakang tafsir misalnya. Sebab pemahaman tafsir yang luas tidak dapat dipisahkan dari penguasaan ilmu Quran / ilmu tafsir.
Untuk melihat persoalan ini, kita perlu memahami kembali apa itu tafsir. Dalam hal ini kiranya uraian Prof. Quraisy Shihab dapat dijadikan acuan. Pertama, tafsir ada yang memahami yaitu penjelasan tentang firman Allah atau apa yang menjelaskan arti dan maksud lafal – lafal Alquran. Bagi kelompok ini, tafsir bukan suatu cabang ilmu. Kemampuan menjelaskan firman Allah itu bukanlah berdasarkan kaidah – kaidah tertentu yang bersumber dari ilmu – ilmu bantu.  Memahami Alquran dapat digali langsung dalam Alquran berdasarkan hadis – hadis Nabi dan sahabat.[7] Bila mana mereka orang yang berbahasa dengan bahasa Alquran barangkali tidak begitu sukar menerapkan model pertama diatas. Akan tetapi bagi mereka yang asing dengan bahasa Alquran tentu tidak serta merta dapat menafsirkan Alquran secara langsung.
Pendapat lain mengenai tafsir yaitu suatu ilmu yang membahas tentang maksud firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Definisi kedua ini lebih populer dan diterima luas oleh para pakar Alquran.[8] Berdasarkan definisi terakhir, kemampuan menjelaskan Alquran sebagai lingkup tafsir tidak dapat lepas dari penguasaan seseorang terhadap ilmu Quran.
Kalau pandangan kelompok pertama yang dipegang maka mengajarkan tafsir tidak harus berlatar belakang tafsir karena tafsir hanya sebatas menjelaskan maksud ayat apalagi asal paham bahasa Arab. Karena itu, berdasarkan pendapat tersebut mengenai tenaga pengajar yang bukan menguasai kaidah penafsiran, dapat saja dibenarkan. Golongan ini tidak perlu menggunakan kaidah – kaidah atau konsep ilmu Quran.
Kalau pendapat kedua yang diambil maka penguasaan ilmu Quran suatu keniscayaan. Mengajarkan tafsir tidak cukup menerangkan maksud ayat tapi juga memberikan dasar – dasar atau kaidah – kaidah tafsir yang ada. Akibat lain akan muncul problem baru yaitu waktu belajar menjadi lebih lama bisa – bisa dapat disajikan lebih dari satu semester.
Berbagai problematika yang dikemukakan berkenaan dengan studi tafsir diatas bila diamati ada kesamaannya dengan yang dialami oleh studi hadis. Untuk mengungkapkan secara luas belum saatnya di kemukakan dalam tulisan ini, disamping ada yang lebih konsen terhadap studi hadis.
Sehubungan dengan kondisi input IAIN yaitu mahasiswa yang mengikuti kuliah tafsir tersebut dengan berbagai latar belakang pendidikan, sudah menjadi tugas dosen ( pengajar ) khususnya membimbing mereka untuk mencapai keahlian sesuai bidangnya. Oleh sebab itu IAIN harus siap menghadapi kondisi demikian dengan memperbaiki berbagai aspek terkait dengan studi tafsir khususnya.[9]
Berkenaan dengan persoalan diatas, penulis mencoba mencari solusi yang dibahas dalam poin dibawah ini.   

^^^
Bab : II. Menuju Arah Baru Studi Tafsir
A. Pola  Mata Kuliah Tafsir
            Sejalan dengan gagasan perubahan visi IAIN yang harus mengemban ilmu agama dan ilmu “ umum “ agar sinergis. Ahli agama yang dapat memberikan solusi yang meliputi persoalan umum; sosial, ekonomi, politik dan seterusnya maka mk tafsir disajikan  menyentuh bidang keilmuan masing – masing program studi atau fakultas. Barangkali bobotnya ditambah dengan penyajiannya menjadi dua semester ( dua kali ), yaitu tafsir konsenterasi I dan II. Sebelum itu, mahasiswa mengikuti mata kuliah tafsir umum komponen institut.
            Sebagaimana disinggung diatas bahwa berkenaan dengan jurusan tafsir hadis cukup tafsir umum ( I ) kemudian diberikan mata kuliah kajian ilmu Quran yang sangat mendukung keahlian bidang tafsir. Mata kuliah dimaksud adalah seperti memperdalam ilmu naskh, ilmu munasabah, dan seterusnya. Selain itu aspek kajian tafsir seperti metode tafsir, metodologi mufasir ( manahij mufassirin ), tafsir aliran, dan seterusnya
            Mengenai penawaran mata kuliah tafsir, ini tidak bersamaan dengan mata kuliah ulumul Quran. Mahasiswa yang mengambil tafsir diharuskan mereka sudah mengikuti mata kuliah ulumul Quran. Dengan demikian, pembahasan tafsir dapat dipahami dengan pengetahuan dasar terkait dengan ilmu Quran tersebut.
            Sebetulnya mata kuliah tafsir tersebut tidak sebatas memahami maksud ayat dengan menjelaskan arti lafaz dan kandungan ayat secara informatif. Tapi disini mahasiswa mampu mensinergikan dan menggunakan pisau ilmu Quran yang sudah dikenali / dibahas sebelumnya. Umpamanya konsep munasabah, konsep naskh, muhkam mutasyabih dan seterusnya harus melengkapi uraian ketika mempelajari tafsir. Karena itu bobot dan waktunya ditambah minimal dua semester seperti disarankan diatas. Dengan demikian pembahasan tafsir tidak putus dari ilmu Quran seperti kesan selama ini seakan – akan ilmu Quran dengan tafsir berjalan sendiri – sendiri tidak ada hubungan.
Kemudian terkait dengan mata kuliah ulumul Quran harus dimaknai sebagai pengetahuan dasar yang mesti diterima mahasiswa pada semester awal – awal kuliah sebelum mereka membahas tafsir. Disini disajikan pokok – pokok ilmu Quran dan ini sama materinya pada setiap fakultas. Untuk jurusan tafsir hadis juga menerima materi yang sama dalam hal ini.
            Selanjutnya bagi jurusan tafsir hadis dilakukan pembahasan yang luas tentang aspek – aspek ilmu Quran dan juga aspek – aspek seputar tafsir. ( sebagaimana yang tergambar pada konsep diatas ). Satuhal yang perlu dihindari yaitu jangan terjadi pembahasan ganda atau tumpang tindih antar mata kuliah. Kajan tafsir pada jurusan tafsir hadis lebih memperdalam aspek ilmu Quran agar senantiasa diharapkan berkembang dinamis. Disinilah bedanya jurusan tafsir hadis dengan jurusan lain dalam hal tafsir / ulumul Quran. Pembedahan aspek ulumul Quran serta tafsir dirancang pada jurusan tafsir hadis sedangkan jurusan lain menggunakannya sebagai alat dalam studi Quran mereka.
            Proses ini berlanjut pada penelitian mahasiswa tafsir hadis yang diarahkan kepada pengembangan aspek ulumul Quran serta kajian tafsir. Dari survey yang penulis lakukan pada data mahasiswa tafsir hadis sulit menemukan kajian skripsinya yang menggali aspek ilmu Quran apalagi yang menggali pemikiran mufasir tentang aspek ilmu Quran. [10] Dalam rangka pengembangan ilmu Quran dengan mengkaji penerapannya dalam kitab tafsir perlu didorong mahasiswa untuk melakukannya. Dengan begitu kita dapat memahami konsep ilmu Quran mufasir dengan penerapannya, bagaimana mufasir tersebut dalam menggunakandalam tafsirnya. Kenyatannya banyak yang membuat penelitian skripsi dengan kajian tematik ( maudhu’i ) seperti pemikiran seorang mufasir tentang suatu tema. Kajian ini tidak salah tapi harus diimbangi dengan kajian lain kesan yang diperoleh dari tematik ini perlu diperbaiki lagi, agar tidak dangkal. Sebab secara umum hanya mengumpulkan ayat yang menonjol sedangkan ciri jurusan tafsir hadis dengan berbagai kajiannya tidak tampak.
Setentangan materi kuliah penelitian tafsir diarahkan membahas berbagai skripsi, dapat dikembangkan dengan dalam prakteknya membahas pemikiran mufasir dalam tafsirnya tentang aspek ulumul Quran serta kecenderungan mufasirnya seperti fiqh , kalam, ekonomi, politik dll. Tidak lupa dalam penelitian tafsir ini dapat menggunakan berbagai pendekatan supaya mempertajam hasil penelitian.
Ada beberapa pendekatan seperti dijelaskan oleh Suprayogo bahwa dalam melakukan penelitian tafsir dapat disesuaikan dengan pendekatan disiplin ilmu yaitu :
  1. Pendekatan sastera dan bahasa
  2. Pendekatan filosofis
  3. Pendekatan teologis
  4. Pendekatan ilmiah
  5. Pendekatan hukum / fiqh
  6. Pendekatan tasawuf
  7. Pendekatan sosiologis
  8. Pendekatan kultural
Ini Menunjukkan bahwa ayat yang sama apabila ditafsirkan dengan pendekatan berbeda akan menghasilkan isi pesan yang berbeda pula.[11] Secara tidak langsung dapat dipahami bahwa ayat Alquran mengandung makna yang tersirat yang dapat digali oleh siapa yang memiliki keahlian sesuai bidang ilmu masing – masing. Disinilah Alquran menghadirkan dirinya yang dapat ditafsirkan secara kontekstual dan akan selalu mengalami perkembangan dalam penafsiran. Berarti kenyataan ini merupakan tantangan bagi ahli tafsir untuk dapat menafsirkan Alquran dengan menggunakan bemacam – macam pendekatan diatas.
            Implikasi dari pandangan diatas akan melahirka tafsir – tafsir dengan berbagai aliran. Inilah yang akan kita bahas pada uraian berikut.     
 
B. Pola Pengajaran Studi Tafsir
            Menyikapi problematika pengajaran tafsir yang dikemukakan diatas perlu dicarikan solusinya agar pembelajaran yang optimal dapat sesuai dengan yang diharapkan. Kesan kajian tafsir  yang terlihat datar dan kurang menyentuh persoalan aspek ilmu Quran dapat  diperbaiki. Kita harus memahami kajian tafsir sebagai suatu ilmu yang mengkaji Alquran dari berbagai aspeknya. Dalam mempelajari tafsir tidak cukup hanya menerangkan maksud kandungan ayat saja tapi dikaitkan dengan kaidah – kaidah dalam penafsiran.  Kaidah tafsir yang   seperti menyertakan dalam pembahasan tafsir dari kaidah – kaidah kebahasaan, kaidah yang terdapat dalam ushul fiqh yang sangat berkaitan. Disamping itu kaidah – kaidah yang tersusun dalam ilmu tafsir sebagai pendekatan dalam membahas tafsir. Tidak kalah pentingnya dalam pembahasan tafsir dicarikan referensi yang baru. Misalnya tafsir –  baru dari penulisnya sebagai suatu konsep. Diantara tafsir kontemporer yaitu Kitab Tafsir yang ditulis oleh ‘Izzah Darwazah, Sa’id Hawa, Sayyid Qutb dan Bintu Syathi’. Tidak hanya tafsir al-Maraghi, Ibnu Katsir  saja yang dijadikan referensi, umpamanya.
Selain kaidah tafsir maka dalam bahasan tafsir juga menerapkan konsep – konsep ilmu Qurannya. Dengan demikian kajian tafsir tidak lagi terasa datar tapi sudah menukik ke pokok persoalan tafsir. Misalnya ketika membahas ayat tentang peristiwa masa lalu; Ashabul kahfi, Zulkarnain dan lain –lain maka ini masuk dalam kajian ilmu Quran yaitu bagian kisah.[12] Ketika menjumpai ayat – ayat dalam materi tafsir yang terkait dengan tema – tema ilmu Quran maka pembahasan dapat diselaraskan dengan konsep ilmu Quran tersebut.  Apalagi kalau pembahasan merujuk kepada kitab tafsir yang beragam akan dapat memperkaya informasi dan mempertajam kajian.
Implikasi dari pola pengajaran seperti ini membutuhkan tenaga pengajar yang menguasai teori kajian tafsir seperti kaidah tafsir, materi ilmu Quran dan metodologi tafsir. Kalau di Fakultas Ushuluddin barangkali persoalan ini bisa diatasi dengan jurusan tafsir hadisnya tapi bagi fakultas lain mau tak mau menyediakan tenaga untuk itu. Ini mesti dilakukan dalam rangka menggali pemahaman Alquran yang komprehensif agar penafsiran juga dapat dikembangkan.
Hal lain yang perlu disikapi juga adalah pengajaran studi tafsir di jurusan tafsir hadis dengan tinjauan dari berbagai aliran atau kecenderungan mufasir. Inilah yang dimaksud dengan tafsir aliran sebagaimana diungkapkan pada bagian A diatas. Jurusan tafsir hadis perlu mengembangkan kajian ini untuk menghasilkan tenaga yang dapat mengajarkan tafsir terkait dengan bidang – bidang keilmuan. Tafsir aliran akan membahas ayat – ayat yang berhubungan dengan pendidikan, hukum, tasawuf, sosial – politik, pengetahuan alam dan seterusnya. Kajian beginilah yang dikenal dengan tafsir politik, tafsir tasawuf, tafsir tarbawi, tafsir ahkam dan sebagainya.
Mahasiswa akan diperkenalkan dengan kitab tafsir yang mempunyai kecenderungan terhadap bidang – bidang tersebut sebagai referensi utama seperti, tafsir al –Manar, Fi Zhilal al – Quran tentang politik, tafsir al – Asas fi at – tafsir, tafsir Ibnu Arabi tentang tasawuf  dan seterusnya. Diharapkan mahasiswa dapat menguasai kaidah – kaidah penafsiran terkait dengan berbagai bidang keilmuan tersebut dan dapat melanjutkan pengembangan pada tafsir lain secara mandiri.
Implementasi dalam kurikulum tentang tafsir aliran dapat dijadikan sebagai satu nama mata kuliah yang masuk dalam kelompok mata kuliah jurusan tafsir hadis. Wujudnya direalisasikan dalam bentuk silabus dengan pokok pembahasan bidang – bidang ( aliran )  keilmuan. Pembagiannya dalam silabus dapat digambarkan yaitu bahasan ayat – ayat pendidikan, bahasan ayat – ayat hukum, bahasan ayat – ayat tasawuf, bahasan ayat – ayat IPA, matematika, dakwah, falsafat, sosial, politik, ekonomi, pluralisme agama dan seterusnya. Setiap pokok bahasan diatas harus menggunakan referensi kitab tafsir yang mencerminkan keilmuan tersebut minimal satu kitab tafsir kemudian ditambah dengan kitab tafsir lain. Diharapkan kajiannya dapat fokus menggali pemikiran seorang mufasir berdasarkan kitab tafsirnya.
Untuk itu, dalam kurikulum tafsir hadis tidak perlu menjadikan setiap pokok bahasan diatas sebagai mata kuliah tersendiri, seperti membentuk dengan nama tafsir ahkam, tafsir tarbawi dan sebagainya.[13] Secara epistemologis, kajian tafsir aliran pada jurusan tafsir hadis tidak mengutamakan teori pengetahuan mengenai berbagai keilmuan tersebut tapi memberi landasan normatif, filosofis menurut Alquran ( Islam ).[14] Kedua, kajiannya adalah berupaya mengenali ayat – ayat terkait dengan bidang – bidang tersebut untuk dapat diketahui kriteria ayatnya baik yang sharih ( eksplisit ) atau secara implisit.[15]  Ketiga, membangun kerangka metodologis penafsiran ayat – ayat menyangkut bidang – bidang keilmuan itu.         
Kondisi yang terlihat sekarang seperti diterangkan diawal tentang tenaga pengajar mengenai bidang kelimuan tertentu ada ketimpangan. Satu sisi menguasai konsenterasi bidang ilmu tertentu tapi sisi ilmu tafsir mengalami kelemahan. Jurusan tafsir hadislah yang merancang tenaga yang diharapkan memiliki penguasaan dua bidang tersebut. Sebetulnya kita dapat memberikan contoh tenaga pengajar tafsir terkait bidang tertentu misalnya tafsir politik yaitu DR. Arsyad Sobby. Beliau berlatar belakang tafsir dengan konsenterasi politik. Untuk masa datang masing – masing bidang ilmu dimaksud harus memiliki dosen yang sesuai dengan konsenterasinya atau spesialisasi tafsir ( tafsir tarbawi, falsafi, politik dst …).[16]
Bila diperhatikan bagian sistem pengajaran lain adalah tujuan maka tujuan pengajaran tafsir disamping memberikan wawasan tentang ayat ayat Alquran yang terkait dengan keilmuannya juga menguasai kunci – kunci pemahaman serta kaidah – kaidah penafsiran. Dengan begitu mahasiswa diarahkan mampu menelusuri berbagai jenis kitab tafsir. Bagi jurusan tafsir hadis selain tujuan diatas mereka juga dapat mengenali ayat – ayat mengenai berbagai bidang keilmuan dan dapat memahami metodologi tafsirnya.

******
Penutup

Uraian dalam makalah ini bisa dikatakan sebagai evaluasi pembelajaran studi tafsir yang berkembang di perguruan tinggi. Dengan melihat berbagai kalemahan dan persoalan yang melingkupinya maka penulis mencoba menawarkan gagasan untuk dapat kita pertimbangkan. Persoalan yang diangkat memang bersifat general karena masing – masing perguruan tinggi memiliki persoalan yang sama.
Penguasaan materi ilmu Quran bagi tenaga pengajar dalam mengajarkan tafsir merupakan upaya memperbaiki kelemahan pengajaran tafsir selama ini. Penguasaan bidang tertentu dengan mengkaji ayat – ayatnya berdasarkan kitab tafsir yang terkait yang disebut sebagai tafsir aliran dapat melengkapi tenaga pengajar tafsir pada berbagai jurusan / fakultas.
Akhirnya, penulis berharap semoga gagasan lain akan muncul demi perbaikan IAIN masa datang.
Wassalam!  
Rekomendasi :
  1. Menyikapi hal ini, maka konsorsium keilmuan tafsir / Ilmu Quran khususnya harus aktif dan kemudian  bekerja sama dengan pimpinan institut atau fakultas untuk merumuskan seputar signifikansi keberadaan mata kuliah tafsir dan pengajarannya di IAIN.
  2. Perlu dikembangkan tafsir aliran sebagai mata kuliah dalam kurikulum, khususnya di jurusan tafsir hadis untuk membekali mahasiswa dengan memahami metodologi tafsir berbagai macam bidang keilmuan. Sedangkan jurusan lain menggunakan tafsir aliran tersebut sesuai dengan keilmuannya masing – masing.

@@@
Daftar Rujukan
IAIN Raden Intan Bandar lampung, Kurikulum IAIN Raden Intan Bandar lampung yang disempurnakan, Bandar lampung : IAIN Raden Intan, 1998
IAIN Raden Intan, Pedoman Akademik dan Kurikulum IAIN Raden Intan Bandar lampung, Bandar lampung : 2000
IAIN Raden Intan, Pedoman Akademik dan Kurikulum IAIN Raden Intan Bandar lampung, Bandar lampung : 2003
Imam Suprayogo dan Tobroni, M.Si, Metodologi Penelitian Sosial – Agama,  Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2001, Cet. Ke – 1
Jurusan Tafsir Hadis, Data Mahasiswa tafsir hadis tahun 1994 – sekarang, Bandarlampung : 2008.
Manna’ Al – Qaththan, Mabahits Fi Ulum al-Quran, Riyadh : Mansyurat al – ‘Asr al – Hadits, t.th, Cet. Ke – 3
 M. Quraisy Shihab, Membumikan Alquran, Bandung : Mizan, 1993, Cet. Ke- 5

________



1. Contohnya di IAIN Jakarta , setelah ditutup tahun 1990 ( konon dibuka pertama tahun 1980 ) kemudian pada tahun 1999 dibuka lagi yang akhirnya dibuka beberapa fakultas seperti Sains dan teknologi, Ekonomi dan Manajemen, Kedokteran dan lain – lain. Dengan demikian status IAIN dapat ditingkatkan menjadi Universitas Islam Negeri. Perubahan ini akan terus diikuti oleh PTAIN untuk menyiapkan diri supaya dapat disejajarkan dengan UIN – UIN yang sudah muncul duluan. 
[2] Lihat; IAIN Raden Intan Bandar lampung, Kurikulum IAIN Raden Intan Bandar lampung yang disempurnakan ( Bandar lampung : IAIN RI, 1998 ), h. 2 – 13. Tampaknya disini ada perubahan,  dari sebelumnya mata kuliah tafsir disajikan dua semester ( 2 kali ) yaitu berdasarkan kurikulum tahun 1992 – 1993 ( penulis belum menemukan kurikulum IAIN Raden Intan tahun 1992 – 1993 namun dengan asumsi tidak jauh berbeda dengan kurikulum IAIN lain karena penulis berpedoman kurikulum IAIN Jakarta ) bahwa mata kuliah tafsir pertama sebagai mata kuliah institut, kedua sebagai mata kuliah fakultas. Tapi dalam penyajian materinya tidak ada perbedaan yang mendasar antara kedua tafsir tersebut.  
[3] IAIN Raden Intan, Pedoman Akademik dan Kurikulum IAIN Raden Intan Bandar lampung ( Bandar lampung, 2000 ), h. 69 - 87
[4] Bandingannya kalau di fakultas Syari’ah ada mata kuliah tafsir ahkam.
[5] Pada fakultas lain juga terdapat hal yang sama. Disimpulkan dari pedoman kurikulum 1998 dan 2000. 
[6] Rinciannya dapat dilihat pada buku pedoman akademik dan kurikulum; IAIN Raden Intan, Pedoman Akademik dan Kurikulum IAIN Raden Intan Bandar lampung ( Bandar lampung, 2003 ), h. 92 - 146 
[7] Lihat: M. Quraisy Shihab, Membumikan Alquran ( Bandung : Mizan, 1993 ), Cet. Ke- 5, h. 152. 
[8] M. Quraisy Shihab, Membumikan, h. 152. Diantara ulama tafsir yang memberikan definisi seperti Abu Hayyan; Tafsir adalah suatu ilmu yang membicarakan tentang bagaimanana membaca Alquran, ( qiraa’at ), memahami aspek kebahasaan  dan sasteranya, makna majaz dan hakikat dan yang tercakup dalam ilmu Quran ( naskh, asbab an - nuzul dst ) sedangkan Imam Zarkasyi ( Al – Burhan )mendefinisikan sebagai;  suatu ilmu untuk memahami Alquran, menerangkan maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmah yang terkandung didalamnya. Ini merupakan pendapat yang menganggap tafsir adalah suatu ilmu yang mengandung beberapa kaidah penafsiran. Periksa, Manna’ Al – Qaththan, Mabahits Fi Ulum al-Quran ( Riyadh : Mansyurat al – ‘Asr al – Hadits ), t.th, Cet. Ke – 3, h. 324
[9] Kita tidak perlu “berkecil hati “ dengan kondisi input IAIN tersebut karena IAIN sudah dapat  mengetahuinya dalam masa penyeleksian mahasiswa maka IAIN juga sudah menyiapkan perangkat pendidikan dalam menghadapi hal tersebut. Penulis ingat suatu pameo, “ المنهج أهم من الما دة “ metodologi itu lebih penting dari pada bahan. IAIN harus senantiasa memperbaiki metodologi dalam berbagai hal agar madah tersebut dapat mencapai keah;lian dalam bidangnya.    
[10] Diantara skripsi yang membahas ilmu Quran : Nasikh dan Mansukh dalam Alquran ( Studi kontroversi ulama mengenai keberadaannya dalam Alquran ) oleh A. Muttaqin ( lulus tahun 1999 ), Karakteristik Ayat – ayat Alquran ( Studi tentang Makiyah dana Madaniyah ) oleh Ahmad Rifa’i ( lulus tahun 2000 ), Israiliyyat dalam tafsir Alquran ( Studi tentang hukum meriwayatkannya serta pengaruh dalam Penafsiran Alquran ) oleh Miftahuddin ( lulus tahun 2002 ).
Hanya satu skripsi yang ditemukan dengan fokus kajian pemikiran mufasir terkait dengan aspek ilmu Quran dengan berdasarkan tafsirnya yaitu Penafsiran Huruf Muqaththa’ah dalam Tafsir Tanwir al – Miqbas oleh Muhammad Tahriruddin ( lulus tahun 2006 ), Dari Sumber, Jurusan Tafsir Hadis, Data Mahasiswa tafsir hadis tahun 1994 – sekarang, Bandarlampung: 2008.
[11] Imam Suprayogo dan Tobroni, M.Si, Metodologi Penelitian Sosial – Agama ( Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2001 ), Cet. Ke – 1, h. 70
[12] Contoh lain lebih jauh disebutkan oleh Qurasy Shihab yaitu ayat – ayat yang terkait dengan  Jidal ( etika berdiskusi ), Amtsal , Qasam. Lihat, M.Quraisy Shihab, Membumikan, h. 155
[13] Tidak menggunakan nama tersebut dalam kurikulum mata kuliah jurusan tafsir hadis untuk menghindari salah persepsi pula. Kok, tafsir hadis fakultas Ushuluddin ada mata kuliah tafsir ahkam, tafsir tarbawi dan lain – lainnya apa ushuluddin belajar hukum atau pendidikan juga. Sebetulnya, tujuan pembahasannya berbeda maka tafsir hadis tidak menjadikan nama mata kuliah untuk masing – masing konsenterasi tersebut.  
[14] Disinilah bedanya pengajaran tafsir aliran pada jurusan tafsir hadis dengan tafsir tarbawi, ahkam ,tasawuf pada jurusan lain. Rancangan dan rumusannya dibangun oleh jurusan tafsir hadis sedang jurusan lain menggunakannya.    
[15] Sebagaimana penjelasan tentang pendekatan tafsir diatas bahwa Alquran dapat pahami dengan berbagai pendekatan walaupun mengenai ayat yang sama. Ini yang memberi ruang untuk memahami ayat secara implisit makna tersirat.  Dapat dibandingkan kembali pada, Imam Suprayogo, Metodologi, h. 70.
[16] Sebagai contoh, dosen filsafat hukum Islam ( DR. Fathurrahman Jamil – UIN Jakarta) beliau berlatarbelakang hukum Islam dengan konsenterasi keilmuan ke filsafat hukumnya, contoh lain pakar komunikasi politik UI ( DR. Effendi Ghazali ), ekonomi politik dan seterusnya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar