Sportifitas Balon Pilkada
Septiawadi Kari Mukmin[*]
Arus demokrasi yang berkembang cepat di Indonesia membawa banyak perubahan dalam sistem ketatanegaraan kita. Sejak Era Reformasi ( Mei 1998 ) bergulir sistem yang selama ini tertanam dipandang menyimpang dari azas demokrasi yang sebetulnya dipegang oleh bangsa Indonesia yang dikenal dengan demokrasi Pancasila.
Perubahan yang bermula dari sistem kepartaian, pemerintahan, lembaga – lembaga negara dan sebagainya secara bertahap dilakukan sesuai keinginan untuk mereformasi segala persoalan yang selama ini tak tersentuh. Salah satu poin awal yang disepakati yaitu berkenaan dengan calon wakil rakyat ( DPR, DPRD) yang semula ( zaman Orde Baru PNS bebas berpartai/ menjadi anggota wakil rakyat ) belum mengatur tentang keterlibatan abdi negara maka keberadaan PNS terutama langsung diatur. Bagi PNS yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota wakil rakyat tersebut harus mengundurkan diri dari PNS tempat habitatnya.
Poin reformasi berikut terkait dengan pengunduran diri sebagai abdi negara yaitu UU No 32 Tahun 2008, kini (berlaku sejak April 2008 ) mulai menyentuh balon Pilkada bahwa pejabat pemerintah seperti Gubernur, Bupati, Wali kota serta wakil masing – masing jabatan tersebut bila ingin mencalonkan diri sebagai balon Gubernur, Bupati, Wali kota atau sebagai wakilnya untuk periode berikutnya maka harus mengundurkan diri dari jabatannya. Dengan demikian setiap pejabat pemerintah yang mencalon atau dikenal dengan calon incumbent yang ingin maju sebagai pemilihan kepala daerah maka harus berhenti dari jabatannya.
Keinginan baik ini harus dikembangkan pada wilayah lain seperti balon Pilkada yang berasal dari anggota wakil rakyat ( DPR, DPRD, DPD ) juga harus berhenti sebagai anggota Dewan. Ini merupakan keputusan yang berimbang dan bagi yang bersangkutan harus siap dengan berbagai resiko yang ditimbulkan. Siap menang dan siap kalah ( gentle ) karena itu merupakan pilihan diri masing – masing.
Kearifan lain bagi para pejabat negara adalah keinginan untuk melepaskan jabatan sebagai pengurus inti partai. Kebiasaan yang dipegang selama ini, ketika menjadi pejabat maka jabatan sebagai pengurus inti partai masih tetap diemban. Seharusnya dengan besar hati jabatan pengurus partai inti dilepaskan karena ranahnya sama – sama dibidang politik selain itu untuk lebih konsenterasi dalam tugas barunya. Bilamana ketua atau sekjen partai yang menjadi presiden – wapres, gubernur - wagub, bupati – wabup, walikota – wako atau yang duduk di legislatif maka mereka tidak lagi mengurus partai sebagai pimpinan puncak. Jadi bagi anggota partai yang lain dapat menggantikan pendahulunya dan ini memberikan kesempatan pula bagi yang lain untuk menjadi eksekutif atau legislatif. Regenerasi atau pengkaderan seperti ini terlihat elegan dan bijak karena jabatan rangkap dapat terhindar dari nuansa ketamakan kepentingan, kekuasaan dan sebagainya.
Wacana ini dapat saja dikembangkan pada lembaga pemerintah yang lain seperti pemilihan Rektor, Dekan serta para pembantu mereka. Jika ingin mencalonkan diri lagi sebagai Rektor, Dekan atau sebagai pembantunya maka jabatan yang sedang diemban seperti Rektor, Pembantu Rektor, Dekan, Pembantu Dekan maka harus dilepaskan. Ini termasuk merupakan pilihan hati yang siap menerima kekalahan dan siap untuk menjabat kembali. Implikasi UU No 32 tahun 2008 tentang Pilkada diatas dapat sebagai bahan pertimbangan bagi perguruan tinggi dalam merancang dan menyusun statuta sebagai landasan konstitusional dalam menjalankan roda perguruan tinggi.
Dengan sportifitas seperti diatas maka setiap balon yang akan menduduki jabatan dapat terhindar dari kerakusan jabatan, keinginan berkuasa langgeng apalagi dengan motif mengumpulkan materi.
Selain melepaskan jabatan bagi yang sedang bertugas, sportifitas Pilkada juga memberikan peluang bagi tokoh masyarakat yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah seperti calon independen. Menurut Rully Chaerul Azwar ( wasekjen DPP partai Golkar ), DPR sudah mengesahkan pada sidang paripurna 1 April 2008 tentang calon perseorangan, tinggal ditanda tangani presiden dan langsung diteruskan ke KPU untuk dibuat aturan teknis – pelaksananya, Radar lampung / 14 April 2008. Ini merupakan kerja DPR tentang revisi terbatas UU No 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah.
Inilah alam demokrasi yang melanda Indonesia negeri tercinta ini bahwa pejabat Negara seperti kepala daerah, anggota Dewan bisa muncul dari orang biasa asal dipilih oleh rakyat. Boleh jadi pejabat berasal dari kalangan seniman, buruh, atau lainnya yang tidak mesti lagi pejabat dari lingkungan pemerintahan seperti umumnya masa lalu. Dengan demikian jabatan negara, lembaga negara serta aparatur dapat terhindar dari sakralisasi dan juga unsur feodalisme semakin terkikis.
Bandar lampung, 19 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar