Pemikiran Tasawuf Nuruddin Ar-Raniri
Oleh : Septiawadi
Pendahuluan
Seiring perkembangan Islam di Indonesia, ajaran tasawuf tampaknya suatu hal yang tak dapat dipisahkan dari misi Islam untuk membawa manusia menjadi umat yang bertauhid dan mentanzihkan Tuhan. Amalan – amalan agama yang dibawa oleh pengembang Islam menekankan perlunya mengisi kehidupan rohani yang betul – betul dapat dirasakan dan dipikirkan. Sebab dalam pengamalan ibadah agama pada hakikatnya adalah untuk meraih hidup tenang bahagia di dunia dan akhirat. Selain itu juga untuk membersihkan diri dari noda – noda dosa agar ibadah yang dilakukan diterima oleh Allah dan kalau bisa dapat merasakan bahwa diri ini berada dekat dengan Allah.
Bila diri merasa dekat dengan Allah berarti diri tersebut sudah kembali ke fitrahnya. Perlu dipahami bahwa Allah itu maha suci maka syarat untuk dekat dengan Allah harus menyucikan diri terlebih dahulu. Kedua, Allah itu wujudnya immateri maka untuk bisa berdampingan dengan Allah tentu harus meninggalkan aspek lahiriyah yang membelenggu rohani kita. Ini merupakan rumusan yang dipakai kaum sufi dalam menempuh jalan kesufian atau dalam menjalani tarekat.
Sekiranya 2 hal diatas sudah dipenuhi maka tidak ada lagi tabir yang membatasi antara makhluk dengan khalik. Bagi kaum sufi falsafi tidak hanya sebatas demikian tapi juga memahami bahwa Allah dan makhluk merupakan wujud yang satu baik secara lahiriyah dan hakikat. Ketika ini diajarkan dan dikembangkan terjadilah perbenturan dengan kelompok yang tidak harus memahami seperti demikian. Artinya dalam perkembangan tasawuf falsafi tidak saja mengandalkan rasa tapi juga harus dipahami berbarengan dengan penalaran sekaligus.
Berbagai bentuk tasawuf diatas[1] mendapat tempat di bumi Nusantara ini. Kalau diperhatikan berdasarkan catatan sejarah, aliran tasawuf yang pertama kali tumbuh di Nusantara ( Indonesia ) adalah yang bercorak falsafi seperti yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri ( sekitar abad 16 – awal abad 17 atau 1600-an ) dan Syamsuddin Sumatrani ( sekitar 1575 – 1630 perannya awal abad 17 ). Menurut ahli sejarah mereka ini hidup sejaman dan ketika itu Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ( 1588 – 1604 )[2] Disinyalir ajaran mereka ini hanya mengembangkan yang dimunculkan oleh tokoh tasawuf falsafi sebelumnya seperti Ibnu Arabi, al – Hallaj dan lain – lain.
Kemudian 2 tokoh berikutnya setelah Hamzah dan Syamsuddin dimana mulai mengkritisi ajaran pendahulunya tersebut yang dianggap terlalu jauh melangkah dalam menempuh jalan sufi. Tokoh yang dimaksud adalah Nuruddin ar- Raniri ( mukim di Aceh 1637 – 1644 lahir sekitar 1580-an ) dan Abdurrauf as-Sinkili ( hidup sekitar 1620 – 1693 ).
Aceh sebagai pintu masuk agama Islam di Indonesia, ternyata ajaran tasawuf juga berawal dari sini yang kemudian meluas dan berkembang di berbagai wilayah di tanah air.
Tulisan yang disajikan ini masih berbicara dalam periode pertumbuhan tasawuf di Indonesia dengan focus kajian yaitu Pemikiran Ar- Raniri tentang aspek tasawuf. Ajaran tasawufnya ini sebagai respon dan kritikan terhadap ajaran tasawuf wujudiyah yang berkembang sebelumnya yaitu Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani. Dari itu penulis akan menyoroti ajaran tokoh ar – Raniri untuk mengkaji, seperti apa ajaran tasawuf yang dikembangkannya, lalu bagaimana kaitannya dengan bentuk tasawuf yang sudah berkembang sebelumnya. Bagaimanakah gagasannya dalam perpaduan ajaran syari’at dan tasawuf? Selain itu bagaimanakah konsep ar – Raniri tentang paham wujud?
Untuk membahas persoalan diatas penulis hidangkan dengan memaparkan terlebih dahulu lintasan latar kesejarahan Aceh abad 17 kemudian menjelaskan sejarah singkat ar – Raniri. Setelah itu langsung mengkaji ajaran tasawufnya menyangkut posisi antara syariat dan tasawuf, bahasan selanjutnya tentang paham wujudiyah dalam tasawuf.
I. Sekilas Kondisi Sosial Politik Aceh Abad 17 M
Berdasarkan beberapa sumber informasi dan ahli sejarah disepakati bahwa Islam masuk ke wilayah Nusantara / Indonesia melalui daerah Aceh. Islam dibawa oleh para saudagar Arab / Timur Tengah dan diperkirakan sudah mulai sejak awal pertumbuhan Islam sebab para pedagang Arab itu sebelum Islam juga sudah menjalankan profesi demikian.
Dengan pengaruh para pendatang tersebut lama kelamaan terciptalah komunitas muslim yang akhirnya membentuk kekuatan, wilayah, kelompok dan kekuasaan yang akhirnya muncul beberapa kerajaan. Penduduk Aceh mulai menyatakan kebersatuan mereka sebagai bangsa, daerah dengan bersatunya kekuatan dibawah kerajaan Aceh Darussalam tahun 1465 dengan rajanya Sultan Husein Syah.
Kerajaan ini juga mengalami pasang surut, seperti factor konflik dalam kerajaan, ekspansi wilayah dan sebagainya. Implikasinya untuk jabatan Sultan tidak selalu dari kalangan keluarga bahkan ada yang berasal dari negeri tetangga. Seiring perjalanan waktu maka pada akhir abad 16 memasuki abad 17 kerajaan Aceh mulai tidak stabil. Pada tahun 1589 Kesultanan dipegang oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al – Mukammil. Menurut beberapa sumber Sultan ini memiliki garis keturunan dari dinasti Dar al – Kamal yang memerintah Aceh sebelum unifikasi.[3]
Ketika Aceh hampir mengalami kehancuran muncullah orang muda si Perkasa Alam menjadi penguasa kerajaan yaitu Sultan Iskandar Muda tahun 1607. Pada masa Sultan inilah Aceh menampakkan kejayaannya lagi. Berdasarkan analisa sejarah pada masa pemerintahan beliau diangkatlah sebagai mufti kerajaan Syaikh Syamsuddin Sumatrani.[4] Disamping ada 4 tokoh berikutnya menjadi Mufti kerajaan.
Masing mereka berdakwah dan mengajarkan agama dengan jalan syariat formal dan juga dengan jalan tasawuf. Tampaknya suasana lebih hidup dengan pendekatan tasawuf dan sepertinya masyarakat cenderung untuk mempelajari agama lewat tasawuf.
Seperti terlihat nanti dalam pembahasan, bahwa perseteruan paham tasawuf mulai muncul ditengah masyarakat. Satu hal yang sangat tampak adalah para mufti lebih mencari tempat “aman” untuk bersandar dipunggung Sultan.
Fenomena yang menonjol sekali adalah ketika as – Sinkili sebagai mufti kerajaan yang dipimpin oleh para Sulthanah. As – Sinkili dalam profesinya tidak mau menyinggung tentang fiqh Siyasah yang terkait dengan pemimpin seorang wanita. Bahkan, pernah utusan dari Arab yang ditanyakan mengenai kepemimpinan wanita dalam Islam.yang dulunya as – Sinkili tidak memberikan jawaban tuntas. Justreu yang lebih tragis lagi as – Sinkili tidak menerjemahkan kata muzakkar pada kitab bahasa Arabnya ke dalam bahasa melayu dan disebut saja dengan kata aslinya.[5]
Pada waktu berikutnya datang jawaban dari ulama tanah suci yang menyatakan bahwa wanita tidak boleh jadi pemimpin kerajaan. Akhirnya digantilah Sulthanah terakhir dengan Umar bin Qadhi al – Malik al – Adil Ibrahim sebagai Sultan.
Penulis tidak menemukan informasi lagi tentang siapa yang diangkat sebagai mufti kerajaan setelah ada Sultan yang baru tersebut. Sikap as – Sinkili diatas berguna untuk mempertahankan statusnya sebagai pejabat kerajaan tapi memberikan citra buruk baginya.
II. Mengenal Nuruddin Ar – Raniri
Tersebut dalam sejarah nama lengkap tokoh ini adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad ar – Raniri as – Syafi’i.[6] Silsilah keturunan ar – Raniri berasal dari India. Ia lahir sekitar pertengahan kedua abad 16 /tahun 1580-an di Ranir ( sekarang Rander ) dekat Gujarat India.[7]
Pendidikan awalnya dalam bidang keagamaan diperoleh ditempat kelahirannya. Kemudian melanjutkan pendidikan ke Tarim, Arab Selatan. Sebelum kembali ke India, ia menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Nabi Saw pada tahun 1621 / 1030.
Sekalipun tidak ditemukan data tentang siapa yang ditemui atau yang mengajari ar - Raniri di tanah Arab namun di India diketahui ar – Raniri mempunyai guru yang terkenal yaitu Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Sya’ban at – Tarim al – Hadhrami ( w. 1656 ) yang juga dikenal di wilayah Gujarat sebagai Sayyid Umar al – Aidarus yang merupakan orang Hadhrami seperti ar – Raniri juga.[8] Asal usulnya juga dari Arab yang migrasi ke India.
Dari sisi aliran tarekat ia ditunjuk oleh gurunya ( Abdullah Ba Syaiban ) sebagai khalifah dalam tarekat Rifa’iyah, sebuah tarekat di Arab. Selain itu ar - Raniri juga mempunyai silsilah dari tarekat Aidarusiyah[9] dan Qadiriyah.[10]
Pulang dari tanah Arab, ia mengajar agama di kampungnya. Setelah beberapa tahun mengajar ia mulai menjelajahi dunia luar dan yang pertama kali dikunjungi adalah Aceh bertepatan ketika itu dengan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Karena tidak mendapat perhatian dari Sultan ia kemudian meninggalkan Aceh. Beberapa tahun berikutnya ia datang lagi ke Aceh yang saat itu dipimpin oleh Sultan Iskandar Tsani. Kali ini ia mendapat tempat di pemerintah lalu menetaplah di Aceh dari tahun 1637 – 1644.[11]
Sepertinya ar – Raniri waktu meninggalkan Aceh pergi menuju Malaka dan boleh jadi disini ia sudah berkenalan atau sudah dikenal oleh Iskandar Sani orang Pahang – Malaka ( yang kemudian menjadi raja Aceh ). Kemungkinan kedua adalah ar – Raniri belum dapat menyaingi ajaran tasawuf serta pengaruh ketokohan Syamsudin Sumatrani yang merupakan mufti kerajaan pada masa Sultan Iskandar Muda[12] yang menyebabkan ia tidak betah di sana dan pergi untuk menunggu situasi yang pas untuknya.[13]
Tatkala Iskandar Sani menjadi Raja lalu ar – Raniri diangkat sebagai mufti Kerajaan. Mulailah ia melakukan pembersihan akidah masyarakat dari paham tasawuf sebelumnya yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Dari fatwa – fatwa yang dikeluarkan serta karangan atau buku yang disebarkannya menjadikan posisinya mulai mantap apalagi Sultan mendukung kegiatan ini. Bahkan dikatakan juga, ar – Raniri sampai mengeluarkan fatwa ancaman pembunuhan bagi orang yang tidak mau meninggalkan ajaran tasawuf Wujudiyah. Akhirnya kedudukan ar – Raniri semakin kuat di Aceh.[14] Keberhasilan ar – Raniri tersebut menandakan paham tasawuf akhlaqi yang pada waktu itu barangkali dipahami sebagai tasawuf kelompok Sunni sangat mempengaruhi masyarakat. Tidak sebatas itu saja bahkan bisa dikaitkan dengan paham Sunni[15] secara umum / awam lebih mendapat tempat di masyarakat Aceh atau Melayu.
Kenyataan ini dapat dilihat dalam penamaan lembaga pendidikan tinggi agama di sana yang menisbahkan kepada nama ar – Raniri yaitu IAIN ar – Raniri. Artinya kepopuleran ar – Raniri sebagai pemurni ajaran Islam lebih berkesan di hati masyarakat dan penghargaan masyarakat yang tinggi kepadanya.
Sebagai akhir kehidupan ar - Raniri di Aceh yaitu tidak lama setelah Sultan Iskandar Tsani wafat maka pada tahun 1644 ia kembali ke negeri asalnya dan meninggal disana tahun 1658.[16] Dijelaskan Azyumardi dengan mengutip tulisan Takeshi Ito yang ia nukil pula dari catatan harian seorang komisaris pedagang tinggi VOC Peter Sourij tahun 1643 bahwa ada ulama pendatang baru di Aceh yaitu Saiful Rijal dari Minang yang senantiasa berpolemik dengan ar – Raniri. Rupanya kehadiran Saiful Rijal[17] mendapat tempat pula di hati sebagian masyarakat[18] Bahkan Sulthanah ( 1641 - ) lebih cendrung ke Saiful Rijal. Tidak jelas kenapa Sulthanah cepat tertarik dengan Saiful Rijal, apa karena dipengaruhi si Nederlandis VOC itu yang terkesan mengadu domba. Sebab ia sering melaporkan polemik antara kedua ulama itu ke kalangan istana. Ar –raniri hanya sempat bergabung dengan Sulthanah sampai tahun 1644, selanjutnya Saiful Rijal yang menggantikan.
Ketika menetap di Aceh ar – Raniri dikenal sebagai seorang ulama dan penulis yang produktif. Ia banyak menulis kitab – kitab dalam berbagai bidang ilmu agama seperti fikih, hadis, akidah, sejarah, mistik, filsafat dan perbandingan agama. Salah satu ciri khas tulisannya yaitu dalam uraiannya selalu mengungkapkan sumber kutipan dalam rangka memperkuat argumen yang dikemukakan.[19]
Diantara karya – karyanya yaitu :
As – Shirath al – Mustaqim ( bahasan fikih )
Asrar al – ‘Arifin ( tasawuf )
Al – Muntahi ( tasawuf )
Bustan as – Salathin fi Dzikr al – Awwalin wa al – Akhirin ( sejarah nabi – nabi, raja – raja )
Asrar al – Insan fi Ma’rifah ar – Ruh wa ar – Rahman ( Bahasan tentang hubungan manusia dengan roh dan Allah )
Aqaid as – Shufiyah al – Muwahhidin ( akidah atau pengalaman kaum sufi yang mentauhidkan Allah )
A. Ajaran Syari’at dan Tasawuf ar – Raniri
Ar-Raniri terkenal sebagai ulama besar dan produktif yang memegang peranan penting dalam pengembangan ajaran Islam di Aceh dengan paham Ahlussunnah wa al- Jama’ah bermazhab Syafi’i. Ia banyak membantah dan mencela paham Hamzah dan Syamsuddin dalam ajaran tasawuf.[20] Sekalipun secara teologi mereka sama bermazhab Sunni tapi Hamzah cenderung ke Maturidi sedangkan ar – Raniri lebih kepada Asy’ari. Dan yang lebih membedakan lagi Hamzah mengikuti pola Ibnu Arabi dalam pemikiran tasawufnya. Demikian Ahmad Daudy.[21]
Mengenai ajaran Wujudiyah, dianggapnya sebagai paham yang menyimpang dan ditentangnya yaitu ajaran tentang kesatuan wujud antara Tuhan dengan makhluk serta perbedaan antara syari’at dan hakikat.[22] Bagi ar – Raniri menekankan pentingnya syari’at dalam praktek tasawuf dan pelaksanaannya dalam ibadah formal seperti menyangkut wudhu, shalat, puasa, zakat, haji, kurban dan seterusnya. Ajaran ar – Raniri ini sangat berarti bagi masyarakat melayu dimana sifat tasawuf yang terkenal eksessif dan spekulatif sedang berkembang.[23]
Antara syari’at dan hakikat menurut ar – Raniri berbeda, artinya perbedaan Tuhan dengan makhluk bukan saja dari segi syari’at tapi juga dari segi hakikat. Makanya ia menolak pandangan yang menyamakan Tuhan dengan makhluk dari segi hakikat. Ia mendukung pandangan para ulama yang menyatakan bahwa antara syari’at dan hakikat mempunyai kaitan erat.
Ambisi dan kegigihan ar – Raniri dalam pembaruan tasawuf di Aceh tidak bisa dilepaskan dari pengaruh tarekat Aidarusiyah yang diikutinya. Gerakan tarekat Aidarusiyah sudah terbukti intensitas kegiatannya di anak benua India dengan paham yang menekankan keselarasan antara jalan mistik dan pengamalan syari’at. Tarekat ini, juga terkenal karena sifat non asketis serta konsistennya dalam beragama.[24]
Corak tarekat seperti inilah yang melekat pada sosok ar – Raniri ketika berupaya meluruskan tasawuf dengan memadukan tasawuf dan syari’at di tanah Aceh. Artinya semangat dari daerah asalnya itulah yang mendorong ia bergerak untuk mengembalikan landasan keimanan masyarakat yang murni.
Tampakanya sikap keberagamaan seperti ar – Raniri masih dapat dijumpai sampai sekarang di bumi Indonesia. Ulama – ulama keturunan Arab khususnya sangat gencar menanamkan syari’at seperti yang berlaku di Arab Saudi. Alasannya ketidak puasan mereka melihat umat Islam Indonesia dianggap tidak menjalankan agama seutuhnya dan banyak mengabaikan ajaran formal yang sudah jelas dasarnya. Bagi mereka ada yang tidak sempurna dalam pelaksanaan ajaran agama oleh masyarakat Indonesia. Dengan begitu ada kesan gerakan yang dilakukan cenderung radikal dan formalistic.
Hal ini dapat kita temui di tanah air misalnya gerakan yang tergolong radikal, fanatik umumnya dipimpin dan dipelopori oleh ulama keturunan ( sama halnya dengan ar – Raniri ) seperti Abu Bakar Basyir dengan Majlis Mujahidin Indonesia, Ja’far Umar Thalib dengan Laskar Jihad dan Habib Rizieq Shihab dengan Front Pembela Islam. Sebetulnya gerakan – gerakan seperti ini juga diperlukan sebagai penyeimbang dari gerakan atau pemikiran yang cenderung liberal atau sangat liberal yang terkesan sering mengabaikan formalistic ajaran Islam atau bahkan kurang memiliki semangat jihad.
Jalan keluarnya adalah sama – sama berupaya menegakkan ajaran Islam seutuhnya, melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar dan melakukan dialog untuk senantiasa bersatu.
Ar – Raniri sendiri berusaha untuk menjernihkan pemahaman keimanan umat yang walaupun mengikuti tasawuf namun tetap menjalankan syari’at formalnya.
B. Paham tentang Wujud
Berkenaan dengan konsep wujud menurut ar – Raniri bahwa wujud itu esa adanya yaitu zat Allah ta’ala. Alam ini hanya maz-har bagi hak Allah yaitu tempat nyata hak ta’ala. Alam ini umpama rupa yang kelihatan didalamnya. Antara wujud hak ta’ala dengan alam berlainanpun tidak, bersatupun tidak. Jadi Allah wujud hakiki sedangkan alam wujud majazi.[25]
Melihat pandangan ar – Raniri diatas, ada kemiripan dengan konsep al – Jili tentang wujud antara alam dan Tuhan. Kata kuncinya disini yaitu alam sebagai maz-har yang menampung sifat – sifat Tuhan. Ini dapat dibandingkan dengan Nur Muhammad dan Insan Kamil. Artinya ar – Raniri juga menolak kalau alam dan Tuhan merupakan kesatuan wujud yang bersatu padu, sebab hal itu mempunyai 2 wujud..
Jika Tuhan dan alam ( makhluk ) hakikatnya satu maka jadilah semua makhluk itu adalah Tuhan. Ini sangat mustahil terjadi. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ajaran yang menyatakan wujud Allah itu adalah wujud makhluk dan wujud makhluk itu adalah wujud Allah merupakan suatu hal yang mustahil seperti paham ittihad, hulul.[26]
Pemikiran tasawuf ar – Raniri banyak diterima dan dianut oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga kebijakan ar – Raniri mengeluarkan fatwa kufur kepada pengikut wujudiyah ternyata didukung oleh Sultan. Bahkan Sultan berulang kali menyuruh dalam persidangan kepada para pendukung wujudiyah untuk mengubah pendapat mereka dan bertobat kepada Allah karena kesesatan mereka, tapi inipun sia – sia. Akhirnya Sultan memerintahkan agar mereka dibunuh sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan ar – Raniri sehubungan dengan kesesatan ajaran Hamzah dan Syamsuddin, tidak hanya sampai disitu bahkan buku – buku merekapun dibakar didepan masjid Banda Aceh.[27]
Menurut Abdul Hadi, Banyak sarjana dan peneliti cenderung menyamakan pengkafiran tersebut dengan pengkafiran Ibnu Taimiyah dan para pemurni tasawuf terhadap pengikut Ibnu Arabi pada abad 14. Padahal bentuknya berbeda dengan gerakan Ibnu Taimiyah yang menolak keseluruhan ajaran wujudiyah. Sebab ar – Raniri pada prinsipnya tidak menolak ajaran wujudiyah seutuhnya.[28]
Kalau begitu, dari uraian diatas dapat dipahami bahwa pandangan ar – Raniri tidak jauh berbeda dengan konsep Hamzah dan Syamsuddin terutama dalam masalah hubungan antara wujud Tuhan dengan alam. Sekalipun disebut bahwa ar – Raniri adalah penentang paham Hamzah namun sebetulnya perbedaannya terkesan pada pengungkapan redaksi saja. Dari sini timbul kecurigaan bahwa boleh jadi fatwa pengkafiran oleh ar – Raniri terhadap konsep Hamzah dan pengikutnya disebabkan oleh motif lain seperti unsur politik dan kekuasaan. Karena untuk menyebarkan pahamnya ar Ranir perlu kekuatan istana untuk melindungi gerakannya.[29] Dugaan ini bisa saja terjadi, sebab ar – Raniri adalah sebagai pendatang di Aceh dan ia tentu punya program untuk dapat bertahan dengan kepentingan idenya.
Walaupun diselingi motif lain, namun ada perbedaan yang menonjol antara ar – Raniri dengan Hamzah yaitu berkaitan dengan paham syari’at yang diusungnya selain mengajarkan tasawuf. Menurut ar – Raniri syari’at tidak dapat diabaikan untuk menuju hakikat.
Untuk lebih memperjelas persoalan kita akan kemukakan ajaran wujud Hamzah Fansuri dan Syamsuddin tersebut lalu hal apa yang menurut ar – Raniri yang menyimpang.
Bagi Hamzah, konsepnya tentang wujud begini. Zat Allah dengan wujud alam dengan alam esa hukumnya. Diibaratkan seperti cermin dan bayangan, rupanya ada tapi hakikatnya tiada. Karena alam tiada berwujud sendirinya. Sama halnya pendapat Hamzah dengan pandangan Ibnu Arabi bahwa wujud Allah dengan wujud alam sesuatu yang tidak dapat dipisahkan sebab alam tidak akan terwujud tanpa wujud Allah. [30]
Rumusan Ibnu Arabi dapat kita perhatikan;
al-‘Abdu Rabbun wa ar – Rabbu ‘Abdun
ya layta Sya’ry Man al – Mukallaf
in qulta ‘Abdu fa dzaka Rabbun
aw qulta Rabbun anna yukallaf
Jadi ada konsep tanzih dan tasybih sekaligus yaitu tanzih dalam ketransendensi Tuhan serta pengakuan akan imanensi Tuhan. Disinilah letaknya kesatuan antara wujud Tuhan dengan wujud alam.
Memang sulit dibedakan antara 2 wujud yang telah menyatu. Ide seperti inilah yang mempengaruhi Hamzah dan Syamsuddin dalam tasawufnya
Implikasi pemikiran ini akan mengarah ke konsep penciptaan bahwa menurut Hamzah ada 5 martabat yang dikuti. Zat Tuhan sebagai la ta’ayyun, lalu bertajalli maka muncul; ta’ayyun awal ( ilmu, nur, wujud ) – ta’ayyun tsani ( manifestasi ilmu Tuhan ) – ta’ayyun tsalits ( roh ) – ta’ayyun rabi’ & khamis = ( alam semesta dan makhluk lainnya, penciptaan alam materi berkelanjutan terus).[31]
Sedangkan Syamsuddin merumuskan dengan martabat tujuh yang terinspirasi dari konsep al – Burhanpuri ( 1623 / 1029 ). Penciptaan bermula dari sifat ilahiyah sampai terbentuk martabat alam yang bersifat materi.[32] Pada dasarnya isi rumusannya tidak berbeda jauh dengan konsep Hamzah. Hanya dibedakan dari penggunaan istilah serta posisi tingkatan.
Adapun mengenai konsep wujud Syamsuddin dengan Hamzah sama – sama mendukung konsep wujudiyah. Syamsuddin membagi strata tahlil 3 kategori :
La ma’bud illallah
La maqsud illallah
La maujud illallah ( Ini sebagai puncaknya )
Inilah konsep tanzih ( 3 macam ) maksudnya meluputkan tasybih Tuhan artinya yang tinggal hanya hakikat wujud Allah pada alam.[33] Kategori diatas disebut sebagai tauhid murni yang harus diajarkan serta dipahamkan sesuai dengan tingkatan salik.
Rumusan mereka tersebut yang dikritik ar – Raniri dan dianggap penyimpangan akidah yaitu menafikan hakikat makhluk. Karena menurut ar – Raniri, makhluk tetap berhakikat seperti matahari dan cahaya yang masing – masing tetap punya hakikat. Jadi menurut ar – Raniri ajaran Hamzah ( aliran wujudiyah ) dengan konsep imanensi Tuhan mengesankan ( sebetulnya ? ) dalam diri makhluk hanya hakikat Allah saja.
Gerakan ar – Raniri memang tergolong ekstrem yaitu dengan dalih konsep tasawuf yang menyimpang menurutnya maka dihalalkan darah pengikut konsep wujudiyah tersebut. Karena demikian, kecurigaan diatas semakin kuat bahwa ada motif politik didalamnya yang mendorong ar - Raniri.[34] Namun demikian pada dasarnya ar – Ranir bertekad untuk menganjurkan syari’at dalam kehidupan masyarakat artinya tidak hanya semata-mata mencapai hakikat dan mengabaikan syari’at.
Sebetulnya hanya berbeda meyakini sesuatu dalam sudut pandang lain. Sebab antara ar – Raniri dengan Hamzah dan Syamsuddin sama – sama ingin menyucikan Allah dan mengesakan zat Allah tapi landasan berpijaknya berbeda. Paham wujudiyah yang dianut Hamzah dan Syamsuddin cenderung memahami secara falsafi sedangkan ar – Raniri memahami sebagaimana konsep kaum teolog.
Jadi kalau para peneliti berprasangka bahwa sikap ar – Raniri merupakan untuk memperkuat kedudukannya di aceh lalu ia berbuat demikian seperti yang disinyalir oleh Team penyusun Depag sepertinya tidak tepat juga. Sebab hal yang dikhawatirkan oleh ar – Raniri bahwa kalau paham itu dibiarkan berlarut maka bagi masyarakat yang belum bisa memahami hal itu dengan benar,dapat menyesatkan. Atau tidak lagi mempedulikan ajaran syari’at karena beranggapan mereka sudah sampai ke tingkat “ma’rifat”.
Namun tindakan ar – Raniri yang menghalalkan darah pengikut wujudiyah dan mengklaim sebagai kafir, zindik juga kurang tepat. Sebab mereka masih mengakui keesaan Allah. Barangkali ajaran tersebut harus disesuaikan dengan kualitas masyarakatnya artinya tidak merata bahwa pada orang awam diajarkan problema yang rinci dan mendalam menyangkut ketuhanan.
Memperhatikan pandangan ar – Raniri tentang persoalan wujud diatas punya keterkaitan pandangan dengan konsep Nur Muhammad dan Insan Kamil al –Jili. Karena kata al – Jili, Insan Kamillah yang sesungguhnya yang dapat menampung seutuhnya akan Nur Muhammad.
Pemahaman ar – Raniri diatas dapat disinergikan dengan konsep Syaikh Yusuf Makassari yaitu ;
Bi annal Abda Abdun wa in Taraqqa.
Wa ar – Rabbu Rabbun wa in Tanazzala.[35]
Seorang hamba yang walaupun sudah merasakan bersatu dengan Tuhan namun ia tetap sebagai hamba. Artinya tidak dapat menggantikan posisi atau wujud Tuhan. Secara hakiki wujud hanya Allah. Selain Allah hanya wujud khayali / fana tidak berdiri sendiri. Dibalik itu harus mengakui sifat Allah yang sempurna, semua yang terjadi atas kuasa dan kehendaknya.
Demikian pembahasan mengenai pembaruan yang dikembangkan ar- Raniri dalam rangka memadukan syari’at dan tasawuf agar sinergi dan integral.
Demkian bahasan singkat mengenai tokoh tasawuf awal, di Indonesia yang aktif di abad ke 17. Tampak ada perbedaan sikap dan watak antara ar – Raniri dengan tokoh sufi lain khususnya di Aceh. Hal itu dapat dipengaruhi dari latar geografis ar – Raniri di India yang sering terjadi konflik antar agama ( seperti Hindu ) yang mengharuskan bersikap tegas dan keras. Berbeda halnya dengan sufi orang Aceh sendiri seperti Abdurrauf as – Sinkili tentu toleransi paham keagamaannya tinggi karena memang sudah menjadi penduduk asli dari kecil.
Sebetulnya masih banyak yang perlu diungkapkan dan dipersoalkan namun tidak memungkinkan dalam kesempatan yang terbatas ini. Seperti aspek ajaran taswuf yang lain diantaranya tentang konsep nafs, roh, qalb.
Penutup
Antara 4 tokoh tasawuf terkemuka awal dalam kawasan Aceh abad 17 yaitu Hamzah, Syamsuddin, Ar – Raniri dan As – Sinkili mempunyai pertalian pemikiran tasawuf falsafi secara umum. Seperti terlihat ketika menjelaskan konsep wujud.
Adapun paham wujud mereka sama – sama mengakui bahwa wujud hakiki adalah Allah sedangkan alam merupakan wujud yang tergantung dengan wujud hakiki. Namun demikian ketika menguraikan konsep tersebut muncul perbedaan yang membawa pengertian bahwa Hamzah dan Syamsuddin menggambarkan hanya ada satu wujud yang memancarkan wujud lain ( makhluk ) dan itu masih wujud yang satu, sedangkan ar – Raniri tetap mengakui 2 wujud tersendiri.
Perbedaan kedua, terkait dalam perhatian antara syariat dan tasawuf. Ar – Raniri sangat mementingkan syari’at dalam kehidupan sekalipun menempuh jalan tasawuf, yang berbeda dengan pendahulunya yang lebih mementingkan hakikat. Namun demikian hasil pemikiran atau konsep yang kemukakan Hamzah dan Syamsuddin sebetulnya tidak sampai ke taraf bahwa ia keluar dari muslim atau seperti yang diklaim ar – Raniri sebagai zindiq, kafir. Sebab konsepnya tersebut tidak ada yang bertentangan dengan ajaran dasar Islam itu sendiri.
RRR
Kepustakaan
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin ar – Raniri, Jakarta : Rajawali Press, 1983
Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri, Yogyakarta : Gelombang Pasang, 2004,
Ali,Yunasril, Manusia Citra Ilahi , Jakarta : Paramadina, 1997
Azra,Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad 17 dan 18, Bandung : Mizan, 1995
Dahlan, Abdul Aziz, Penilaian Teologis atas Paham Wahdatul Wujud dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani, Padang : IAIN – Imam Bonjol Press, 1999, Cet. ke - 1
Fathurrahman, Oman, Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus Abdurrauf Sinkel di aceh Abad 17, Bandung : Mizan , 1999, cet. ke - 1
Hadi WM, Abdul, Tasawuf yang tertindas , Jakarta : Paramadina, 2001, Cet. ke- 1
Hasyimi, A, Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, tt : PT Alma’arif, 1993, Cet. ke- 3
Shihab, Alwi, Islam Sufistik, Bandung : Mizan, 2001, Cet. ke- 1
Ensiklopedi Islam , Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994, Cet. ke- 2
Team Penyusun, IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta : Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, 1983
SEP
Lintasan Kerajaan Aceh*
Penulis mengambil setting sejarah Aceh yang bermula ketika daerah ini terdiri dari 6 wilayah kerajaan kecil yaitu ; Perlak, Samudera Pase, Teumiang ( Aceh Timur ), Pidie, Indera Purba dan Indera Jaya. Kemudian muncul gagasan para elit mereka untuk bersatu dibawah kerajaan Aceh Darussaalam ( Aceh Besar ) dengan :
Raja Sultan Husain Syah ( 1465 – 1480 )
1514 Awal dari negara Islam Aceh Besar dengan Raja Ali bin Sultan Syamsu Syah dengan gelar Sultan Ali Mughayat Syah ( 1514 – 30 )
( 1530 – 37 ) Sultan Salahuddin yang akhirnya jatuh ketika datang Portugis dan Spanyol ke Malaka.
( 1537 – 68 ) Naik pemimpin yang tegas dan kuat Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al – Qahhar dan penentang Portugis.
( 1571 – 79 ) Sultan Ali Ri’ayat Syah
( 1579 – 85 ) Sultan Alauddin Mansur Syah ( menantu Ali Ri’ayat Syah ) yang berasal dari diraja Perak yang sebelumnya dikalahkan oleh Ri’ayat Syah. Bahkan putera diraja dari Pahang Sultan Ali Jalla ( Raja Umar ) nantinya kawin dengan puteri Sultan Alauddin Mansur Syah. Pada saat itu Aceh menguasai perak dan Johor merasa aman dari Portugis. Aceh, Johor, Perak damai lagi.
Setelah itu antara 1585 –1589 pembesar Aceh mulai menentang akan Raja yang dianggap bukan keturunan Mughayat Syah dan hanya menantu maka raja akhirnya terbunuh.
( 1589 – 1604 ) Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al – Mukammil. Mufti Kerajaan Syaikh Hamzah Fansuri ( lk. 1570 – 163…? ). Konflik dengan belanda dan perang saudara akhirnya Sultan jatuh. Dalam kondisi tidak menentu muncul pemimpin baru ( orang kuat ), Perkasa Alam - Iskandar Muda. Sedangkan syamsuddin sudah dikenal juga sebagai ulama Aceh.
( 1607 – 36 ) Iskandar Muda / Mahkota Alam sebagai orang kuat / muda kerajaan Aceh. Mufti Kerajaan Syaikh Syamsuddin Sumtrani. ( lk. … - 1630 )
( 1636 – 41 ) Sultan Iskandar Tsani ( menantu Iskandar Muda ) yang berasal dari Pahang.
Syaikh Nuruddin ar – Raniri ( muqim 1637 – 1644 )
Pemerintahan Aceh Darussalam abad 17
4 orang sulthanah berturut - turut
1. Safiyatuddin ( 1641 – 75 ) yang menggantikan Iskandar Tsani. Ar – Raniri masih sempat bergabung dengan Sulthanah sebagai mufti kerajaan dengan gelar al – Qadhi al – Malik al – Adil, selama 2,5 tahun sebelum Ratu berpaling ke Saiful Rijal ( paham wujudiyah ) dari Minang
2. Nurul Alam Naqiyatuddin ( 1675 – 8 ) As – Sinkili menang pengaruh yang mengenyampingkan Saiful Rijal.
3. Zakiyatuddin ( 1678 – 88 )
4. Kamalatuddin ( 1688 – 99 )
5. 1699 - Selanjutnya digantikan oleh Umar bin Qadhi al – Malik al – Adil gelar Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Ba al – Alawi al – Husayni. Ia mendirikan dinasti Arab Jamal al – Lail. As – Sinkili wafat 1693.
* Dari beberapa sumber
Kari
Perjalanan Tasawuf Indonesia
Pertumbuhan
Hamzah Fansuri – asal dari kampung Fansur dekat Barus, Sinkel dan Sibolga, wafat di kecamatan Simpang kiri ( Sinkel ) W. lk. 156 (7)0 - 1607 M. La Ta’ayyun = Ta’ayyun Awal – Ta’ayyun Tsani – Ta’ayyun Tsalits – Ta’ayyun Rabi’ – Ta’ayyun Khamis.
Syamsuddin Sumatrani asal / besar dan wafat diduga juga di Pasai ( Samudera Pasai ) W. 1630 M. Martabat 7; Ahadiyah – Wahdah – Wahidiyah – Alam Arwah – Alam Mitsal – Alam Ajsam – Alam Insan.
Nuruddin ar –Raniri lahir di Ranir India, asalnya ; ayah seorang Arab India / Hadhrami - ibu melayu / India. Pamanya Syaikh Muhammad Jailani muqim di Aceh 1583 M. Wujud hakiki – wujud majazi. Tetap ada 2 wujud.
Abdurrauf as – Sinkili ( 1615 – 1693 M ), ayah dari Persia menetap di Fansur. Atau ayah dari Arab kawin dengan wanita Fansur – muqim di Sinkel. A’yan Tsabitah ( Nur Muhammad ) – A’yan Kharijiyah ( wujud kongkret ). Tetap ada wujud masing – masing.
Murid / Penerus dari Ulama Aceh
Yusuf Khalwati al – Makassari ( 1036 / 1629 –
Syekh Burhanuddin Ulakan Minang w. 1111 / 1691
Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Palembang
Abdussamad al – Falimbani w. 1203 / 1788
Shihabuddin bin Abdallah Muhammad ( lk w. 1775 M ), penasehat Sultan Ahmad Najamuddin
Kemas Fakhruddin ( 1133/1719 – 1177/ 1763 )
Muhammad Muhyiddin bin Syaikh Shihabuddin ( akhir abad 18 )
Kemas Muhammad bin Ahmad ( tarekat Samman ) lk abad 18
Muhammad Ma’ruf bin Abdallah ( abad 18 ) sebagai Khatib Kesultanan Palembang
Kalimantan
M. Arsyad bin Abdullah al Banjari Martapura (1710 – 1812 / 1122 – 1227 H ) masa Sultan Banjar Sultan Tahlil Allah 1700 - 1734
M. Nafis bin Idris bin Husein al – Banjari Martapura ( 1148 / 1735 – 1812 ) keluarga Kesultanan Banjar
Ahmad Khatib as – Sambasi / Syaikh Muhammad Khatib bin Abdul Gaffar as – Sambasi ( w. lk. 1878 M )
Daud al – Fatani (Malaysia )
Syaikh Ismail bin Abdullah al – Khalidi / Ismail al - Minangkabawi ( hidup sekitar 1125 – 1260 H ) tarekat Naqsyabandiyah
Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan mataram lombok ( lk. 1071 / 1650 – 1151 /1730 )Penganut tarekat Syatariyah berkembang di Jawa Barat, Murid dari as – Sinkili
Haji Hasan Musthafa, Garut – Jawa Barat 1268 / 1852, martabat tujuh
Sulawesi
Muhammad Aidarus, Buton lahir akhir abad 18, Menjadi Sultan 1824. Tarekat Khalwatiyah Sammaniyah
Anaknya : haji Abdul Hadi, Muhammad Shalih
Haji Abdul Ghani, Buton, lahir akhir abad 18
Pemurnian ( pengaruh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dll )
Ahmad Khatib al – Minangkabawi w. 1916 / 1334 H
Syekh M. Jamil Jambek w. 1947
Abdullah Ahmad w. 1926
Abdurrauf al – Kurinsyi w. 1928
Abdul Karim Amrullah w. 1945
Ciputat, 18 Juni 2006
Daftar Isi
Pendahuluan ……………………………………………… 2
I. Sekilas Kondisi Sosial Politik Aceh Abad 17 M ……………. 3
II. Mengenal Nuruddin ar – Raniri ………………………… 5
A. Ajaran Syari’at dan Tasawuf ar – Raniri ……………… 8
B. Paham tentang Wujud ………………………… 10
Penutup ………………………………………………….………..… 21
Kepustakaan ………………………………………………………… 22
Lintasan Kerajaan Aceh ………………………………………………. 23
Perjalanan Tasawuf Indonesia ………………………………………. 25
KariMukmin
Polemik antara pemikiran tasawuf falsafi dan tasawuf akhlaki muncul seiring perkembangan Islam di Nusantara. Setiap tokoh tasawuf dapat melanggengkan paham tasawufnya karena didukung oleh kerajaan. Tulisan ini berupaya mengungkap konsep tasawuf ar – Raniri dengan membandingkan pada ajaran tasawuf sebelumnya. Ar – Raniri dalam menerapkan ajarannya berupaya memurnikan ajaran tasawuf pendahulunya yang bercorak falsafi yang dianggapnya menyimpang dari prinsip Islam. Pokok perbedaan ajaran tasawuf ar-Raniri dengan sebelumya dianalisis mencakup paham wujudiyah. Kemudian diuraikan ajaran ar-Raniri yang memadukan antara syariat dan tasawuf. Ajaran tasawuf ar – Raniri ini dapat bertahan karena pemerintah waktu itu Sultan Iskandar Tsani cocok dengan paham tersebut.
Polemic [of] [among/between] idea of tasawuf falsafi and tasawuf akhlaki emerge along Islam growth [in] Nusantara. Each;Every figure tasawuf can be permanent understand the tasawufnya [of] because supported by empire. This article cope to express the concept of tasawuf ar - Raniri by comparing [at] previous teaching tasawuf. Ar - Raniri in applying its teaching cope to purify the its teaching tasawuf predecessor [is] which have pattern [to] [of] falsafi assumed digress from Islam principle. Fundamental [of] difference of teaching of tasawuf ar-Raniri by sebelumya [is] analysed to include;cover the understanding wujudiyah. [Is] later;then elaborated [by] teaching ar-Raniri which combine [among/between] syariat and tasawuf. teaching of Tasawuf ar - This Raniri can stay because government at that time Sultan of Iskandar Tsani fitt in with the the understanding.
[1] Paling tidak 2 corak tasawuf tersebut. Tasawuf falsafi dan Tasawuf akhlaki. Keduanya eksis di Aceh pada awalnya.
[2] Team Penyusun, IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf ( Jakarta : Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, 1983 ), h. 186. 1588 -1604, 1604 – 1607 masa transisi 1607 – 1636 Sultan Iskandar Muda.
[3] Diantaranya; Mohammad Said, Hoesein Djayadiningrat, Anthoni Reid. Lihat Afif, h. 53
[4] Pada abad 17 ini paling tidak tercatat 4 orang mufti yaitu Syamsuddin, Nuruddin ar – Raniri, Saiful Rijal, as – Sinkili. Pengaruh ulama ini tidak hanya mewarnai politik kerajaan tapi juga berpengaruh langsung pada masyarakat.
[5] Periksa, Azra, Jaringan Ulama, h. 200. Peunoh Daly juga menemukan hal serupa dalam penelitiannya bahwa dalam buku Mir’atu Thulab disinyalir as – Sinkili sengaja menyimpan makna kalimat itu.
[6] Ensiklopedi Islam ( Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994 ) Cet. ke- 2, 48
[7] Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Berkaitan dengan orang tuanya ada yang menyebutkan bahwa ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhrami yang menetap di India, sedangkan ibunya – sebagaimana dikatakan M. Naqib al – Attas – seorang melayu. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad 17 dan 18 ( Bandung : Mizan, 1995 ), h. 169
[8] Azra, h. 172
[9] Tarekat ini sepertinya memang berasal dari gurunya sendiri yaitu yang terkenal dengan al – Aydarus.
[10] Azra, h. 172
[11] Keberangkatannya ke Aceh serta daerah ini yang dipilihnya diduga karena Aceh saat itu sudah berkembang dan menjadi pusat perdagangan, politik, kebudayaan dan pusat studi agama Islam di kawasan Nusantara menggantikan Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis. Faktor lain boleh jadi ia menyusul pamannya yang sudah lama menetap di Aceh. Selain itu, kemungkinan ketika belajar di Arabia ia sudah menjalin hubungan murid – murid Jawi ( Nusantara ) yang belajar di Arab. Lihat, Ensiklopedi, h. 48
[12] Kalau disebutkan, Syamsuddin wafat tahun 1630 sedangkan Iskandar Muda memerintah sampai tahun 1636 maka pertanyaannya siapa yang menjadi mufti kerajaan pengganti Syamsuddin? Sebab ar – Raniri mulai menetap ketika Iskandar Sani jadi Raja tahun 1637. Penulis tidak menemukan informasi tentang itu.
[13] Tampaknya masyarakat Aceh waktu itu lebih tertarik mempelajari tasawuf Islam yang merupakan ekspresi dari pengalaman keberagamaan dan dapat dirasakan oleh jiwa masyarakat sendiri. Artinya sangat menyentuh pada pemebentukan sikap dan rasa seseorang. Seperti disebut Azyumardi dengan mengutip Bustanus Salathin karya ar – Raniri bahwa pamannya dulu pernah mengajari masyarakat Aceh tentang ajaran tasawuf yang pelik itu dan itu sesuai tuntutan mereka dalam mempelajari Islam. Azra, h. 170. Ini dapat menjadi gambaran bahwa pola berpikir kebergamaan masyarakat masa itu sudah tinggi dan cerdas yang sudah menyentuh hal – hal yang rumit dalam beragama.
[14] Azra, h. 177
[15] Ada dugaan secara politis di Aceh sedang tarik menarik antara aliran Syi’ah dan Sunni.
[16] Ensiklopedi, h. 48.
[17] Dulunya ia pernah berguru di aceh pada Syaikh Maldin yang pernah diasingkan keluar Aceh oleh ar – Raniri. Ajaran Syaikh ini agaknya sisa pengikut Hamzah dan Syamsuddin sebelumnya
[18] Mereka merasa dibangunkan kembali untuk mempelajari tasawuf wujudiyah Syamsuddin Sumatrani yang sewaktu ar – Raniri di Aceh, paham tersebut dilenyapkan.
[19] Ensiklopedi, h. 48
[20] Team Penyusun, h. 221
[21] Penelitian mendalam tentang pemikiran ar – Raniri telah dilakukan oleh Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin ar – Raniri, Jakarta : Rajawali Press, 1983. Sebagaimana juga dikutip oleh Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri, Yogyakarta : Gelombang Pasang, 2004, h. 228
[22] Ensiklopedi, h. 49
[23] Merespon hal ini ia menulis buku as – Shirath al – Mustaqim di tanah melayu. Azra, h. 181
[24] Sebagaimana dijelaskan oleh Eaton, Sufis of Bijapur, lihat Azra, h. 181
[25] Team, h. 222-3
[26] Ensiklopedi, h. 49
[27] Azra, h. 182
[28] Abdul Hadi WM, Tasawuf yang tertindas ( Jakarta : Paramadina, 2001 ), Cet. ke- 1, h. 159
[29] Team, h. 224
[30] Dikutip oleh Afif dari The Mysticism oleh al – Attas. Lihat Afif, h. 110
[31] Afif, h. 124
[32] Ahadiyah, Wahdah, Wahidiyah, Alam Arwah, Alam Mitsal, Alam Ajsam, Alam Insan. Tiga ( 3 ) Pertama sebagai Aniyah Allah, 4 kemudian sebagai Aniyah makhluk. Lebih jauh lihat; Aziz Dahlan, tentang martabat 7.
[33] Hasil Seminar dengan Prof. Dr .M. Ardani di pascasarjana ( S3 ) hari Jumat, 17 Maret 2006.
[34] Apalagi kalau dilihat sejarah masuknya ar –Raniri ke Aceh yang tidak sepaham dengan politik saat itu membuat dia tidak tahan di Aceh.
[35] Seperti dijelaskan oleh Prof. Dr. M. Ardani, Jumat, 6 April 2006 di pascasarjana ( S3 ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar