PEPERANGAN DAN PERDAMAIAN
( Tinjauan Tafsir Ahkam )
Abstraksi
Dua istilah dari judul diatas yaitu perang dan damai adalah ungkapan yang sangat naturalistik dan sesuai dengan jiwa dan watak manusia,walaupun wujud nya menghendaki kekerasan tapi tetap mempunyai kelembutan. Tinjauan sudut hukum Alquran merekam kedua istilah ini yang harus diterapkan secara proporsional dalam artian tidak ada yang terzalimi. Perang dalam Islam terwujud untuk mempertahankan aqidah yang terganggu oleh pihak lain yang dapat mengancam jiwa sedangkan perdamaian senantiasa diupayakan dalam rangka menjaga stabilitas dan mengurangi bahaya / kerugian yang lebih besar.
Kata kunci : Perang, Perdamaian
Pendahuluan
Seandainya Allah tidak mendorong sebagian manusia melawan sebagian yang lain tentu binasalah bumi ini, namun Allah mempunyai karunia yang dicurahkan pada semesta Alam ( Surat Albaqarah : 251 ).
Ayat diatas mencerminkan bahwa manusia mempunyai kebebasan bertindak dan berkehendak untuk berkompetisi. Akan tetapi persaingan dan ambisi manusia yang sering tidak mengenal batas bahkan melakukan kezaliman kepada pihak lain yang bermuara kepada timbulnya persengketaan dan konflik. Dengan demikian tidak satu pihakpun diperkenankan untuk melakukan eksploitasi untuk menguasai secara penuh di alam raya ini. Begitulah kira-kira yang digambarkan dalam ayat 251 diatas tentang kisah antara pasukan Thalut dan Jalut bahwa nabi Daud dapat membunuh Jalut untuk memberantas kezaliman.
|
Alquran tidak sedikit berbicara mengenai perang dan perdamaian namun dalam tulisan ini, pembahasan difokuskan pada ayat sentral saja yaitu surat al-Baqarah : 190 yang terkait masalah perang ( qital ) serta surat al-Anfal : 61 untuk ayat yang berbicara tentang perdamaian. Selain itu juga dikemukakan ayat-ayat lain yang mendukung penjelasan ayat pokok.
Sistematika dalam menyajikan uraian yaitu sebelum memasuki bahasan utama terlebih dahulu ditampilkan ayat pokok, syarah mufradat, makna global ayat, sabab nuzul baru kemudian pembahasan.
Peperangan
Seperti diterangkan diawal bahwa ayat utama yang dijadikan landasan adalah yang terdapat dalam surat al-Baqarah : 190
Perangilah dijalan Allah ( dalam kerangka fi sabilillah ) orang yang memerangimu dan jangan berlebihan karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Syarah Mufradat
Al-Qital القتال sebagai bentuk ( shighat ) masdar dari qatala – yuqatilu ( fi’il madhi dan mudhari’ ). Makna dari shighat qital ini berasal dari akar kata qatala yang berarti hilangnya roh ( nyawa ) dari badan. Bentuk ini ada 2 macam pertama yang disebut dengan maut yaitu nyawa hilang karena tiada lagi tanda kehidupan. Kedua dengan istilah terbunuh yaitu hilangnya nyawa disebabkan oleh hal lain.[1] Makna ini berkembang sesuai dengan perubahan tashrif, dimana menjadi suatu aktifitas untuk saling menghilangkan nyawa lawannya (saling berbunuhan) kemudian berkembang lagi dengan arti peperangan.
Makna Global
Peperangan yang dilakukan bertujuan untuk menghindari dan atau melawan kesewenang-wenangan serta penganiayaan dari pihak lain ( musuh ). Ini mengindikasikan bahwa ajaran Islam sangat anti terhadap kezaliman, oleh sebab itu perlawanan untuk mempertahankan akidah dan jiwa merupakan salah satu cara yang mulia. Disamping itu
Islam melarang bertindak kelewat batas seperti membunuh orang yang “ tak berdosa [2]“, mengkhianati perjanjian dan sebagainya.
Sabab Nuzul
Peristiwa yang melatari turunnya ayat ini seperti yang diriwayatkan oleh al-Wahidi yang bersumber dari Ibnu Abbas yaitu berkenaan dengan perdamaian di Hudaibiyah saat Rasulullah dicegat oleh kaum Quraisy untuk memasuki Baitullah. Perdamaian tersebut antara lain menyatakan agar kaum Muslim melakukan Umrah tahun berikutnya. Pada waktu yang disepakati tiba berangkatlah rombongan Nabi menuju Makah dan ketika diperjalanan tampak kekhawatiran dikalangan sahabat bahwa kaum kafir akan melanggar perjanjian atau bahkan mereka akan menyerang rombongan Nabi, padahal kaum Muslim enggan berperang dibulan tersebut ( bulan haram ).[3]
Bahasan
Kunci utama pada ayat diatas terletak pada kata qatilu ( ) yang mengindikasikan bahwa kaum Muslim harus membalas serangan yang datang kepada mereka. Berdasarkan riwayat Rabi’ bin Anas, setelah ayat ini turun Nabi Saw tidak ragu lagi mengobarkan semangat para sahabat untuk memerangi dan sebaliknya menghentikan peperangan bila pihak kafir ( lawan ) tidak memusuhi lagi.
Terdapat perbedaan dikalangan Mufassir tentang ayat qital yang pertama turun, satu pendapat mengatakan ayat 190 surat al-Baqarah sebagai awal perintah qital sedangkan pendapat lain menyebutkan surat al-Hajj ayat 39 yang berbunyi :
Telah diizinkan berperang bagi orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Sesungguhnya Allah benar maha kuasa menolong mereka itu.
Pendapat terakhir berkenaan dengan ucapan Abu Bakar yang mengecam kaum Quraisy ketika ia dan Nabi serta para sahabat berada di Madinah setelah hijrah dari Makah.[4] Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut yang penting keduanya mencerminkan bahwa ayat qital turun diawal-awal tahun hijriyah.
Ada kalimat yang perlu dicermati dalam ayat diatas seperti dijelaskan oleh al-Shabuni,[5] setelah lafal qital kemudian diikuti oleh ungkapan fisabilillah. Ini mengidentifikasikan bahwa peperangan dalam Islam mempunyai tujuan suci yaitu untuk menegakkan “ kalimat Allah “, menciptakan kedamaian di alam raya ini. Seperti disabdakan Nabi Saw :
Siapa yang melakukan pembunuhan dalam rangka menegakkan agama Allah yang agung ini berarti ia termasuk berjuang atas ridha Allah (fisabilillah ).
Alasan berperang yang ditemukan dalam ayat diatas adalah bila kaum Muslim diperangi. Barangkali muncul pertanyaan dibenak kita, bagaimana jika perintah ini tidak turun apakah para sahabat tidak punya keinginan untuk bertindak ( melawan ). Sebetulnya tidak demikian, ketika ayat qital belum turun, kalangan sahabat pernah pada masa sebelumnya punya keinginan untuk memerangi kaum kafir yang menzalimi mereka namun dicegah oleh Nabi Saw,
Aku diperintahkan untuk selalu pemaaf oleh sebab itu jangan terburu-buru angkat senjata.
Jawaban Nabi ini sangat memperhatikan kondisi serta suasana saat itu, karenanya harus dipahami secara kontekstual. Menurut logika tidak ada orang yang rela dianiaya apalagi diperangi yang akan berimplikasikan bercucuran darah bahkan kematian.
Melihat alasan yang dikemukakan ayat 190 diatas bahwa peperangan yang dilakukan kaum Muslim, jika mereka diperangi. Pernyataan ini dipahami sebagai nash periodik yang hanya berlaku pada waktu-waktu tertentu dalam artian harus dipahami berdasarkan konteks yang berlaku bukan merupakan sikap final dan permanen. Ini memberikan suatu pengertian bahwa ayat-ayat yang turun belakangan tidak berarti menasakh ayat tersebut. Seperti ditemukan dalam surat al-Taubah : 123
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir disekitar kamu itu, supaya mereka merasakan kekerasan darimu. Ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.
Ayat ini menurut al-Jassash tidaklah menasakh ayat 190 surat al-Baqarah. Kepastian hukum yang dikandung ayat 190 tersebut tetap sebagai dasar utama untuk memerangi kaum kafir. Dengan demikian kesan yang diperoleh menunjukkan bahwa Islam itu lebih bersifat defensif bukan sebaliknya ( ofensif ). Sangat keliru persepsi yang dilontarkan bahwa Islam dikembangkan dengan pedang di kanan dan Alquran di tangan kiri. Menurut hemat penulis Alquran adalah landasan Islam dalam penyiaran ( dakwah ) Islam sedangkan pedang digunakan untuk mempertahankan akidah dari gangguan pihak lain.
Masih dalam penggalan ayat 190 surat al-Baqarah ;
Ini merupakan pernyataan hukum dan etika bertempur yang harus diindahkan dan benar-benar jadi perhatian supaya dilaksanakan. Larangan diatas seperti dijelaskan oleh al-Qurtubi[6] yaitu menghindari dari membunuh wanita, anak-anak, orang tua jompo dan sejenisnya yang tidak terlibat dalam peperangan.[7] Keterangan ini dikuatkan oleh riwayat Ibnu Umar bahwa suatu ketika Nabi Saw menemukan mayat wanita di arena pertempuran beliau sangat prihatin dan kemudian berkomentar bahwa dilarang membunuh wanitan dan anak-anak dalam peperangan. Fenomena yang dihadapi Nabi ketika itu tidak menjelaskan sanksi hukum bagi yang melanggar. Artinya hukuman secara material tidak beliau tetapkan namun bila diperhatikan peristiwa tersebut sudah tercakup dalam larangan diatas yang menyatakan bahwa sanksi ( ancaman hukumnya ) lebih bersifat ukhrawi. Tampak disini kelenturan Alquran dalam memberikan pengajaran hukum khususnya, jadi para pelaksana / pemegang kendali hukum dapat menetapkan suatu ancaman materialnya sesuai kondisi yang dihadapi. Boleh jadi hukuman duniawi dilaksanakan secara kontekstual tapi tetap dalam koridor makna yang universal.
Pendapat lain tentang larangan la ta’taduu dipahami juga bahwa jangan diperangi orang yang tidak memerangi. Penafsiran seperti ini muncul dengan memperhatikan awal ayat dan pengertian tersebut sangat terbatas. Selain itu banyak ayat lain yang mendorong kaum Muslim untuk terus memerangi musuh sampai stabilitas keamanan benar-benar terjamin seperti informasi ayat ini ;
Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu dimana saja kamu temui, kemudian tangkaplah, kepunglah dan intailah di tempat pengintaian. Maka jika mereka bertobat lalu mendirikan shalat dan membayarkan zakat maka berilah kebebasan kepada mereka untuk beraktifitas. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Al-Taubah : 5
Pada ayat berikutnya ( al-Baqarah : 191 ) terlihat penegasan Alquran yang maksudnya ; Bunuhlah mereka ( kaum kafir ) dimana saja dijumpai dan usirlah mereka dari wilayah yang kamu tempati dulu. Sebab jika mereka masih tetap bercokol didaerah tersebut akan menimbulkan instabilitas dan kekacauan ( fitanah ). Akan tetapi hindarilah berperang di Masjidil Haram kecuali kaum muslim sudah diserang duluan. Pada akhir ayat berikutnya dijelaskan bahwa bila mereka sudah tunduk ( tidak lagi menampakkan permusuhan ) maka peperangan harus berakhir dengan kata lain gencatan senjata segera dilakukan.
Ada beberapa hal yang perlu dikemukakan disini bahwa kaum Muslim diperintahkan berperang dengan melihat kondisi yang memungkinkan atau dengan kata lain jika strateginya sudah mendukung seperti kekuatan pasukan, kesiapan mental, peralatan tempur dan sebagainya.
Kedua ayat ( al-Baqarah : 190 dan al-Hajj : 39 ) yang disinyalir sebagai awal ayat qital dapat dikompromikan bahwa ayat 39 sebagai awal kebolehan untuk memerangi kaum kafir yang terjadi ketika Nabi Saw dan para sahabat tidak lama setelah hijrah ke Madinah. Bila dicermati pernyataan ayat tersebut tidak berbentuk perintah, ini dapat dipahami sebagai cerminan kondisi kaum Muslim pada waktu itu. Dalam tafsir Munir dinyatakan bahwa ayat 39 surat al-Hajj turun pada tahun ke 2 Hijriyah.[8] Sedangkan ayat 190 al-Baqarah merupakan perintah pertama untuk berperang.
Ini membuktikan bahwa Alquran menuntun dan mendidik manusia secara bertahap dengan selalu memperhatikan kondisi yang dialami. Berlainan dengan ayat 39, maka pada ayat 190 itu turun disaat posisi kaum Muslim sudah semakin kuat, dan juga penegasan ayat ini berkaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang menggambarkan keadaan para sahabat yang enggan berperang di bulan haram.
Memperhatikan uraian diatas bahwa pada dasarnya untuk membela dan melindungi diri dari penganiayaan memang sudah sewajarnya dilakukan dan juga bila menyangkut akidah dan wilyah ( komunitas ) maka wajiblah mempertahankan dan menegakkan kalimat Allah walau dengan bersenjata demi menghapus kezaliman. Menghadapi situasi begini berlaku ancaman bagi orang yang enggan berangkat dan disersi dalam peperangan, seperti ditegaskan oleh ayat berikut ;
Jika kamu tidak berangkat untuk berperang niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya kamu dengan kaum yang lain dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepadaNya sedikitpun. Allah maha kuasa atas segala sesuatu. ( al-Taubah : 39 )
Barang siapa yang membelakangi mereka ( mundur ) diwaktu itu, kecuali berbelok untuk ( siasat ) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah. Tempatnya adalah neraka jahannam, itulah tempat kembali yang sangat buruk ( al-Anfal : 16 )
Dalam Alquran tidak dinyatakan secara tegas sanksi dunia bagi orang yang tidak ikut berperang tanpa ada uzur, hanya diberikan ancaman dengan siksaan yang akan diterima diakhirat. Pada masa Nabi juga tidak ada sanksi yang kongkrit yang dilaksanakan tentang hal itu. Sebagian mufassir ada yang mengklaim bahwa sabab nuzul ayat 103 surat al-Taubah menceritakan tentang sanksi bagi orang yang tidak ikut berperang. Jika dicermati hukuman tersebut hanya inisiatif mereka yang tidak berangkat perang sedangkan setelah berita itu sampai kepada Nabi Saw, beliau tidak memberikan respon terhadap sikap orang tersebut sehingga turunlah ayat ini ;
Ambillah sadaqah dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan diri mereka serta berdoalah untuknya. Sesungguhnya doamu dapat menenteramkan jiwa mereka. ( Al-Taubah : 103).
Diterangkan juga bahwa ayat sebelumnya ( 102 ) menggambarkan tindakan orang yang menghukum diri sendiri karena tidak turun ke medan tempur yaitu dengan cara mengikatkan diri ke pohon.[9]
Peristiwa yang melatari ayat 102 dan 103 surat al-Taubah seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim[10] yang berasal dari Ibnu Abbas. Ia menceritakan bahwa ketika Nabi menghadapi suatu peperangan, ada beberapa orang yang tidak ikut berangkat ke medan tempur yaitu Abu Lubabah serta 5 rekannya. Abu Lubabah serta 2 temannya[11] menyesali diri dan mengikatkan diri mereka pada tiang-tiang seraya bertekad tidak akan berhenti melakukannya sebelum Nabi yang membukanya. Sesampainya berita itu kepada nabi, beliau enggan melepaskannya kemudian Allah menurunkan ayat 102 al-Taubah. Saat itu juga Nabi melepaskan ikatan mereka. Sedangkan mengenai tiga teman Abu Lubabah yang lain belum kelihatan sanksi buat mereka waktu itu.[12]
Tidak adanya ketentuan yang tegas tentang pelanggaran dalam berperang, menunjukkan bahwa hukum dalam ayat qital sangat universal dan sanksinya hanya ditegaskan berupa ancaman di akhirat. Adapun sanksi dunia yang bersifat material diserahkan kepada manusia atau pemimpin suatu bangsa / kelompok sesuai ketentuan yang disepakati bersama dengan tetap memperhatikan norma yang manusiawi.
Sejarah mencatat bahwa sejak Nabi hijrah ke Madinah banyak sekali peperangan yang diikuti bahkan beliau sampai cedera ketika perang Uhud. Peperangan yang diikuti Nabi lebih bersifat defensif dengan tidak mengawali konflik atau memprovokasi pihak lain seperti terlihat pada perang Badar dan Uhud. Sikap terpuji dicerminkan Nabi sewaktu menghadapi tawanan perang yang diperlakukannya secara baik dan terhormat. Selain itu kaum Muslim dilarang Nabi berbuat aniaya terhadap mayat [13] serta menghormati tawanan wanita.
Perdamaian
Adapun ayat yang dijadikan fokus pembahasan adalah yang terdapat dalam surat al-Anfal : 61.
Jika mereka cenderung kepada perdamaian maka perkenankanlah serta bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia maha mendengar lagi maha mengetahui.
Tafsir Mufradat
Al-Salm atau al-Silm merupakan 2 istilah yang bermakna damai / perdamaian seperti kata al-Sulh yang bertujuan untuk menghilangkan permusuhan antara manusia. Dikatakan juga sebagai lawan dari kata al-Fasad.[14]
Makna Global
Ayat ini menggambarkan sikap Alquran ( ajaran Islam ) tentang hal yang terkait dengan peperangan yaitu upaya untuk menghindarinya dan tidak dilakukan kecuali seluruh cara damai sudah ditempuh. Sebelum ayat ini, ada perintah agar mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi serangan musuh. Seandainnya musuh mengetahui kesiapan kaum Muslim untuk terjun ke medan jihad tentu akan melemahkan semangat mereka. Islam sangat menghargai ajakan damai namun bila tidak tercapai kesepakatan atau dikhianati maka kaum Muslim tidak gentar untuk bertempur kembali.
Bahasan
Sebagai pokok uraian atau kandungan ayat terletak pada semangat perdamaian. Bila dalam peperangan timbul ajakan untuk berdamai dari pihak lawan maka kaum Muslim mesti menyelidiki keinginan mereka dengan niat yang tulus. Seperti dijelaskan oleh al-Biqa’i,[15] kecendrungan untuk berdamai sebagai tuntutan yang tulus tanpa ada kesan atau hal-hal yang mengindikasikan tipu muslihat. Karena itu kata janaha yang digunakan pada ayat diatas disandingkan dengan ungkapan lam ( ل ) tidak dengan ila ( إلي ) maknanya supaya kewaspadaan[16] perlu dalam melihat kesungguhan dan keseriusan mereka ( pihak musuh ).
Perdamaian adalah salah satu tuntunan agama yang mendasar, lahir antara lain dari pandangan Islam tentang kesatuan alam raya. Prinsip kesatuan ini yaitu seluruh makhluk harus bekerja sama, dari sinilah perdamaian menjadi kemestian sebagai pijakan. Pada dasarnya perang tidak diharapkan kecuali untuk meraih perdamaian atau dengan istilah bahasa agama untuk menegakkan kalimat Allah. Dengan demikian perang tidak dikehendaki untuk kepentingan suatu bangsa dengan tujuan untuk menindas bangsa lain apalagi bangsa tersebut berdaulat.[17]
Muncul beberapa pandangan mengenai kedudukan ayat diatas seperti diuraikan oleh al-Qurtubi, disebutkannya bahwa menurut Qatadah dan Ikrimah, kandungan hukumnya telah dinasakh oleh ayat 5 dan 36 surat al-Taubah yang berbunyi;
Bila bulan-bulan haram sudah lewat maka bunuhlah kaum Musyrik itu dimana saja ditemui. Tangkaplah, kepunglah dan intailah mereka di tempat pengintaian. Al-Taubah : 5. Perangilah kaum Musyrik itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu juga, ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang taqwa. Al-Taubah : 36.
Pendapat lain menyebutkan, ayat 61 surat al-Anfal tersebut tidak mansukh bahkan menghendaki ( bertujuan ) untuk memberlakukan jizyah.[18]
Menurut Ibnul Arabi,[19] kaum Muslim boleh saja berinisiatif untuk mengadakan perdamaian dengan berbagai pertimbangan untuk menghindari bahaya yang lebih besar bukan karena masalah lemah.
Dalam tafsir Fi Zhilalil Quran dinyatakan bahwa ayat 61 diatas turun pada tahun kedua hijriyah setelah perang Badar. Dengan mengadakan perdamaian maka bagi kaum kafir ( musuh ) ada 2 opsi yaitu masuk Islam atau membayar jizyah sebagai kewajiban ahli Dzimmi.[20]
Tidak dipungkiri lagi bahwa Islam sebagai agama perdamaian dan anti permusuhan sangat memelihara kerukunan hidup sesama manusia. Bagi kaum Muslim dianjurkan untuk berbuat yang lebih baik membalas kebaikan orang lain, seperti digambarkan dalam surat al-Nisa’ : 86
Bila kamu diberi penghormatan maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau sepadan, Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.
Diakhir ayat ( surat al-Anfal : 61 ) dijelaskan bahwa hanya Allah yang maha mendengar dan lebih tahu dari niat mereka ( pihak musuh ), apakah mereka benar-benar untuk berdamai atau hanya sekedar taktik ( manuver ). Jika mereka hendak melakukan tipu daya, cukuplah Allah sebagai pelindung yang akan meneguhkan kaum Muslim dengan pertolonganNya.
Menerima perdamaian dalam suatu peperangan merupakan kewajiban bagi kaum Muslim, sebab perdamaian itulah yang menjadi tujuan perang dalam Islam. Perdamaian dalam ajaran agama sangat dijunjung tinggi, bila tidak dituruti ( ditolak ) maka tindakan tersebut termasuk kezaliman. Menolak perdamaian sangat bertentangan dengan etika peperangan seperti penjelasan akhir ayat 190 surat al-Baqarah yaitu dalam peperangan jangan sampai melampaui batas. Menerima ajakan damai merupakan realisasi dari makna larangan tersebut.
Pada masa Nabi Saw tampak bahwa beliau sangat mendambakan perdamaian dalam setiap menghadapi konflik seperti ketika melakukan perjanjian dengan kaum kafir Quraisy yang dikenal dalam sejarah dengan perdamaian Hudaibiyah. Kesabaran Nabi dan kaum Muslim terlihat ketika harus menerima kehendak kaum Quraisy agar Nabi Saw kembali ke Madinah saat itu ( pada tahun tersebut ) dan diizinkan mengunjungi Baitullah pada tahun berikutnya. Sekiranya para sahabat tidak menghormati Nabi Saw tentu sudah berkecamuk perang mengingat penderitaan orang-orang yang masuk Islam mendapat siksaan oleh kaum kafir Quraisy. Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah disepakatilah gencatan senjata selama 10 tahun.[21]
Sehubungan dengan usaha perdamaian untuk mencapai hubungan yang harmonis antar berbagai pihak perlu juga kita perhatikan ayat 9-10 surat al-Hujurat. Ungkapan kunci yang digunakan disini yaitu ashlihu ( ) yang berakar kata dari shaluha ( ) – ashlaha ( ). Bunyi ayatnya ;
Jika ada dua kelompok dari kaum Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua kelompok itu berbuat zalim terhadap kelompok lainnya maka perangilah kelompok yang berbuat aniaya ( curang ) tersebut, sehingga mereka kembali kepada kebenaran Ilahi. Maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang yang berlaku adil. ( ayat 9 ). Sesungguhnya Kaum Mukmin itu bersaudara karenanya damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. ( ayat 10 ).
Shighat yang dipakai dalam ayat diatas berbentuk perintah dan terulang sebanyak 3 kali dalam 2 ayat sedangkan jenis kata ini terungkap dalam Alquran hanya 4 kali[22] yang berbicara tentang upaya damai antara pihak yang berseteru. Kesemua ayat tersebut berbicara dalam konteks peperangan. Hanya saja spesifikasi perintah tertuju kepada kaum Muslim sendiri.
Berdasarkan uraian ayat diatas, dipahami bahwa ungkapan ashlihu ( bentuk jamak ) dalam Alquran terkait dalam suasana perang ( berbunuhan ). Walaupun ada 2 kata ashlihu ( bentuk mufrad ) tapi tidak berbicara dalam konteks perang.[23] Dengan demikian ungkapan ashlihu yang berbicara mengenai peristiwa perang hanya dalam bentuk jamak.
Struktur ayat yang terkait dengan perintah berdamai dalam suasana perang hanya ada 2 bentuk yaitu al-salm dalam surat al-Anfal : 61 yang lalu dan ashlihu dalam surat al-Hujurat : 9 - 10 serta al-Anfal : 1. Penggunaan al-salm diatas menyangkut peperangan dengan kaum kafir ( non Muslim ) sedangkan pemakaian ashlihu ditujukan sesama kaum Muslim. Filosofinya dapat kita cermati dari makna serta peristiwa yang terkandung dalam ayat tersebut. Bahwa yang dikehendaki dalam al-salm tidak saja perdamaian untuk gencatan senjata saja tapi membawa harapan agar pihak musuh mau mengikuti jalan kebenaran Ilahi ( masuk Islam ) atau membayar jizyah walau masih dalam kekufuran. Adapun ashlihu perdamaian yang diharapkan seperti sedia kala ( status quo ) sebab mereka memang sama-sama Muslim.
Kesimpulan Hukum
1. Mempertahankan aqidah merupakan suatu kewajiban apalagi jiwa terancam yang mengindikasikan bahwa kaum Muslim akan bereaksi bila diperangi.
2. Kewajiban berperang dalam rangka mempertahankan kebenaran serta pengikut / penganutnya dan untuk menegakkan kalimat Allah.
3. Dilarang dalam peperangan bertindak melampaui batas / berbuat zalim, hal itu termasuk perbuatan melanggar hukum Islam, Sebab Islam sangat menghargai hak azazi seseorang yang harus diperlakukan secara manusiawi.
4. Hakikat peperangan adalah mencapai perdamaian, oleh sebab itu wajib menerima ajakan damai dari pihak lain bila mereka menginginkan demikian.
5. Perdamaian yang diharapkan tidak hanya sebatas gencatan senjata tapi mengandung unsur dakwah yaitu agar pihak musuh mau masuk Islam atau menjadi kaum yang tunduk terhadap aturan pemerintahan Islam.
6. Perintah untuk berperang dan melawan pihak lain yang mengganggu kaum muslim turun setelah hijrah ke Madinah yang mana pengikut Nabi sudah mulai mapan. Disinilahlah letak tahapan ajaran Islam yang sesuai dengan perkembangan kondisi yang dihadapi.
$ep
KEPUSTAKAAN
al-Asfahani, al-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfaz Alquran, t.t : tp, t.th
al-Baqi, Muhammad Fuad Abdul, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz Alquran al-Karim, Beirut : Darul Fikri, 1987
al-Biqa’i, Nazmud Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar
Haikal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta : Tintamas, 1982, Cet. Ke- 8
Ibnul Arabi, Abu Bakar Muhammad, Ahkamul Quran, Beirut : Darul Fikri, 1988
al-Jasshash, Ahkamul Quran, t.t : t.th
Shaleh, Qamaruddin, dkk, Asbabun Nuzul, Bandung : Diponegoro, 1987, Cet. Ke – 9
al-Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir Ayat Ahkam, Beirut : t.th
Qurtubi, Abu Abdullah, al-Jami’ li Ahkamil Quran, Beirut : t.th
Qutb, Sayid, Fi Zhilalil Quran, Beirut : Darul Arabiyah, t.th, Cet. Ke- 4
Zuhaili, Wahbah, Dr., al-Tafsir al-Munir, Beirut : Darul Fikri, 1991, Cet. Ke- 1
$ep
[1] Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz Alquran, t.th, h. 408
[2] Ada 3 kelompok manusia yang sering mengalami ketidakadilan ( yang dikenal dengan al-Mustadh’ifun ) yaitu wanita, anak yatim dan orang tua renta karena sering diabaikan haknya.
[3] Qamaruddin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, ( Bandung : Diponegoro, 1987 ), Cet. Ke-9, h. 61. Dalam Islam ada beberapa bulan yang dimuliakan ( Haram ) yaitu Zulqaedah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Lihat , QS. Al-Baqarah : 194
[4] Abu Abdullah al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, ( Beirut : t.th ), h. 341
[5] Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam, ( Beirut : t.th ), h. 226
[6] Al-Qurtubi, op.cit., 350
[7] Bahkan pada zaman sekarang lebih luas lagi cakupannya bahwa tidak boleh menyerang fasilitas umum seperti rumah sakit, tempat ibadah, serta para petugas yang terkait dengan itu.
[8] Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, ( Beirut : Darul Fikri, 1991 ), Cet. Ke-1, h. 227
[9] Lihat, QS. Al-Taubah : 102
[10] Senada juga dengan itu, riwayat Ibnu Jarir dengan tambahan informasi bahwa Abu Lubabah dan temannya usai dilepaskan ikatannya oleh Nabi, mereka langsung berujar “ Ini harta kami untuk disedekahkan sebagai penebus kesalahan kami dan mohonkanlah kepada Allah agar mengampuni kami “. Ketika itu Nabi masih enggan mengambilnya, lalu turunlah ayat 103 ini. Tengok dalam kitab Asbabun Nuzul susunan Imam Suyuti atau Naisaburi. Riwayat Abu al-Syaikh dan Ibnu Mindah yang bersumber dari Jabir mengatakan bahwa peristiwa ini terjadi ketika perang Tabuk, dan yang mengikatkan diri yaitu Abu Lubabah, Aus bin Khadzam, Tsa’labah bin Wadi’ah.
[11] Sedangkan yang 3 orang lagi tidak melakukan apa-apa. ( Riwayat Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih diatas ).
[12] Keterangannya periksa, QS, Al-Taubah : 106, disebutkan juga dalam riwayat Ibnu Abi Hatim bahwa ada yang berharap semoga Allah menerima tobat mereka itu bila tidak, tentu binasalah mereka.
[13] Sehubungan dengan mayat ( yang nota bene benda yang sudah tidak bernyawa lagi ) masih dihormati oleh Nabi apalagi manusia yang masih hidup.
[14] Al-Asfahani, op.cit., h. 246
[15] Al-Biqa’i, Nazmud Durar fi Tanasub al-Ayat wa Suwar, ( tt : tp, 1995 ), h. 237
[16] Waspada perlu dipertahankan sedangkan kecurigaan bukan sebagai pilihan.
[17] Jika penyerangan tetap dilancarkan tanpa ada alasan yang nyata berarti tindakan tersebut sudah menzalimi pihak lain dan pelakunya tidak dapat dibiarkan oleh siapapun.
[18] Al-Qurtubi, op.cit., h. 40
[19] Abu Bakar Muhammad Ibnul Arabi, Ahkamul Quran, ( Beirut : Darul Fikri, 1988 ), h. 427
[20] Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Quran, ( Beirut : Darul Arabia, t.th ), Cet.ke-4, h. 214
[21] Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, ( Jakarta : Tintamas, 1982 ), Cet. Ke-8, h. 263 - 310
[22] Satu ayat lagi terdapat dalam surat al-anfal : 1. Mereka diperintahkan untuk berdamai sehubungan keretakan yang timbul terkait pembagian harta rampasan. Ayat ini diakhiri dengan penegasan untuk selalu mentaati Allah dan RasulNya, sebagai ciri mukmin sejati.
[23] Lihat, QS, al-A’raf : 142, al-Ahqaf : 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar